Terkait Persoalan Kepemilikan Tanah di Desa Poto, Kuasa Hukum Nenobahan Datangi Kantor ATR/BPN Oelamasi

Spiritnesia.com, Oelamasi – Terkait persoalan Kepemilikan Tanah di Desa Poto, Keluarga Nonobahan yang didampingi Kuasa Hukum Mersen W. Sila, S.H., dan Mikhael Tamonob, S.H., mendatangi Kantor ATR/BPN Kabupaten Kupang dan melayangkan Surat Permohonan Pembatalan Penerbitan Sertifikat Tanah di Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Demikian disampaikan Kuasa Hukum Nenobahan kepada tim media ini, Selasa, 05/07/2022.

“Pada masa sekarang persoalan kepemilikan tanah sering terjadi di wilayah Pedesaan maupun Perkotaan karena itu Status Kepemilikan Tanah/Lahan sangatlah penting namun bagaimana memperoleh tanah/lahan tersebut merupakan dasar dari kepemilikan yang sah,” ujar Sila.

Menurut Sila Sejarah meninggalkan bukti penguasaan/kepemilikan suatu wilayah dengan adanya Tua-Tua Adat yang memimpin Kelompok tertentu di setiap Wilayah, Sehingga masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik dari suatu wilayah haruslah dapat menjelaskan Sejarah/Riwayat bagaimana memperoleh wilayah tersebut, jelas Pengacara Muda itu.

“Sila juga menjelaskan bahwa pada Senin lalu Tanggal 04/07//2022, kami diminta Keluarga Nonobahan untuk mendampingi Keluarga Nenobahan untuk kita mendatangi Kantor Pertanahan guna memberikan Surat Permohonan Pembatalan Penerbitan Sertifikat Tanah di Kantor ATR/BPN Kabupaten Kupang,” tutur Sila.

Sehingga lanjut Sila sebelum pihak Pertanahan melakukan pengukuran tanah di Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat, terlebih dahulu harus memeriksa status kepemilikan tanah tersebut, agar setelah melakukan Pengukuran dan Penerbitan Sertifikat tidak menimbulkan konflik antara masyarakat Desa, karena terbitnya Sertifikat tanpa adanya kejelasan status kepemilikan sebelum pengukuran, jelasnya lagi.

“Lebih lanjut Sila juga menjelaskan bahwa Surat yang kami diberikan ke Kantor Pertanahan itu juga ada tembusan kepada Camat Fatuleu Barat, Kepala Desa Poto dan Dusun setempat.”

Sementara itu Pengacara Tamonob, juga menjelaskan terkait dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 24 menyebutkan :

1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebani-nya.
2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh Tahun) atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya, jelas Tamonob.

Kita juga mendapat respon positif oleh Camat Fatuleu Barat Kandidus Neno, S.H., saat menerima tembusan surat dengan menyampaikan bahwa, “kalau bisa persoalan ini segera diselesaikan agar kedepan tidak terjadi persoalan diantara masyarakat maupun pemerintah setempat,” tutur Camat Fatuleu.

Nanti saya akan atur waktu dan menghubungi keluarga Nenobahan supaya kita bisa duduk bersama untuk membahas dan menyelesaikan persoalan ini, ungkap Kandidus Neno.

Foto istimewa: Kuasa Hukum dan Keluarga Besar Nenobahan & Tanau

Sementara di tempat terpisah, Esau Nenobahan perwakilan keluarga besar Nenobahan dan Tanau menyampaikan kepada media ini , bahwa “Orang tua kita adalah kepala suku/tua adat di kampung Bona Tama ini dan setiap orang yang membangun rumah dan berkebun disini karena orang tua kami yang kasi duduk (memberikan ijin, red), tetapi rumah dan bangunan yang dibangun tanpa sepengetahuan orang tua kami adalah bangunan yang tidak sah kepemilikannya,” tutur Esau.

Dan kami keluarga berharap agar sebelum adanya kejelasan status kepemilikan atas tanah dan bangunan yang ada di Desa Poto, kami minta pihak Pertanahan sebaiknya menunda dulu rencana pengukuran dan penerbitan sertifikat tanah di Desa Poto-Kecamatan Fatuleu Barat-Kabupaten Kupang sampai ada kejelasan, pinta Esau dengan tegas. (SN/Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *