Kategori
Berita Daerah

Temui Pemimpin Agama, Wawali Minta Dukungan Penanganan Covid dan Stunting di Kota Kupang

Spiritnesia Com, Kupang – Untuk mengantisipasi timbulnya klaster baru dan lonjakan kasus covid 19 pada perayaan Paskah mendatang serta meminta dukungan untuk upaya penanganan stunting di Kota Kupang, Wakil Wali Kota Kupang, dr. Hermanus Man, menemui langsung para pemimpin agama di Kota Kupang, Jumat (8/4). Para pemimpin agama yang ditemui yakni Uskup Agung Kupang dan Pimpinan Sinode GMIT. Dalam kunjungan tersebut Wawali didampingi Kepala Badan Kesbangpol Kota Kupang, Noce Nus Loa, SH, M.Si.

Kepada para pemimpin agama, Wawali menjelaskan pandemi covid 19 belum sepenuhnya berakhir. Perayaan Paskah bagi umat Kristen yang akan dirayakan dalam waktu dekat berpotensi menimbulkan kerumunan warga yang hendak beribadah. Untuk itu Pemerintah Kota Kupang meminta kerja sama dan dukungan para pemimpin agama terkait untuk membantu mencegah terjadinya lonjakan kasus covid 19. Salah satunya adalah dengan cara memperbanyak jadwal ibadah atau misa serta tetap memberlakukan penerapan protokol kesehatan yang ketat di gereja-gereja. Pemkot juga akan melakukan pendekatan yang sama dengan para pemimpin gereja denominasi yang ada di Kota Kupang.

Pada kesempatan yang sama Wawali juga meminta dukungan para pemimpin agama terkait upaya Pemkot Kupang dalam penanganan stunting. Menurutnya dalam waktu dekat Pemkot Kupang berencana akan mengundang para pemimpin agama untuk meminta masukan dan saran terkait persyaratan yang akan diberlakukan bagi para calon pengantin, sebagai upaya pencegahan stunting mulai dari hulu. Ditambahkannya gereja dan pemerintah perlu bersinergi, agar setiap pasangan calon pengantin yang akan menikah baru bisa diberkati setelah memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, termasuk syarat kesehatan.

Dalam pertemuan tersebut Wawali juga atas nama Pemerintah Kota Kupang menyampaikan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan oleh para pemimpin agama, sehingga Kota Kupang bisa kembali meraih penghargaan sebagai salah satu kota toleran di Indonesia.

Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang memastikan siap mendukung upaya pencegahan lonjakan kasus di masa Paskah mendatang. Menurutnya selama pandemi gereja-gereja Katolik di Kota Kupang terutama yang memiliki umat cukup banyak sudah memperbanyak jadwal misa hingga 6 bahkan 8 kali setiap hari Minggu untuk mengurai penumpukan umat saat ibadah.

Uskup juga menyambut baik rencana kolaborasi antara Pemkot dan gereja untuk penanganan stunting. Menurutnya kerja sama ini bisa diwujudkan dalam kursus pernikahan yang digelar gereja, Pemkot melalui dinas teknis bisa terlibat memberikan edukasi bagi para pasangan calon pengantin tentang bagaimana mencegah stunting. Namun, Uskup juga mengingatkan penanganan stunting tidak hanya sekedar syarat kesehatan tetapi juga bagaimana meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga serta memastikan ketersediaan air, listrik, jalan dan sanitasi. Pemerintah menurutnya perlu mendorong peningkatan pendapatan keluarga lewat pelatihan-pelatihan keterampilan dan koperasi. Keuskupan Agung Kupang juga menurutnya telah mengimbau semua paroki untuk minta masing-masing kelompok umat basis mendata jumlah anak yang stunting di kelompok mereka, sekaligus bertanggung jawab untuk menangani anak-anak tersebut.

Wakil Ketua Sinode GMIT, Pdt. Gayus Polin, S.Th, yang ditemui di ruang kerjanya juga menyatakan dukungan kepada Pemkot Kupang dalam upaya pencegahan penyebaran covid 19. Pihaknya akan mengeluarkan penegasan kepada jemaat dan gereja-gereja GMIT untuk memperketat protokol kesehatan selama masa Paskah, supaya tidak terjadi lonjakan.

Sementara itu, Sekretaris Sinode GMIT, Pdt. Yusuf Nakmofa, S.Th, dalam kesempatan yang sama mengakui terciptanya kerukunan antar umat beragama di Kota Kupang bisa terwujud berkat adanya kemitraan yang baik antara pemerintah dan para pemimpin agama, serta komunikasi antara gereja dan pemerintah yang sangat responsif.

Mengenai penanganan stunting, Pdt. Yusuf yang didampingi Wakil Sekretaris Sinode GMIT, Pdt. Elisa Maplani, S.Th, mengakui di beberapa wilayah pelayanan GMIT angka stunting masih sangat tinggi. Karena itu Sinode GMIT dalam sidang tahunan sebelumnya sudah menetapkan program dan anggaran khusus untuk penanganan stunting. GMIT juga melalui kelas katekisasi dan pembekalan par nikah akan memberikan pencerahan tentang penanganan stunting bagi para pasangan calon pengantin. (**)

Kategori
Berita Daerah

Diduga Proyek Stunting Dimonopoli Oleh ‘Dinas’ PKK NTT

Spiritnesia.Com, KUPANG – Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diduga memonopoli proyek penanganan pencegahan stunting yang bersumber dari APBD NTT Tahun 2020. TP-PKK NTT disebut Dinas PKK NTT karena mengambil alih tugas dinas teknis terkait pencegahan stunting.

Demikian diungkapkan Ketua GRAK, Yohanes Hegon Kelen Kedati pada Selasa (05/04/2022) terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) Republik Indonesia (RI) Nomor 19.C/LHP/XIX.KUP/05/2021 Kinerja Atas Efektifitas Upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT  dalam mendukung percepatan pencegahan stunting di NTT Tahun 2018-2020. Hal itu menangapi pernyataan Ketua Pokja Stunting NTT, Ir. Sara Lery Mboik yang menyatakan adanya monopoli proyek penanganan stunting (one man show) oleh oknum politisi.

Berdasarkan LHP BPK Tahun 2020 Tentang Stunting, BPK RI merincikan total anggaran proyek stunting tahun 2020 senilai Rp 61,291.062.589. Dari jumlah tersebut, alokasi APBN sekitar Rp 37,5 Milyar dilaksanakan oleh Dinkes NTT. Sedangkan alokasi APBD NTT sekitar Rp 23,5 Milyar dilaksanakan oleh TP-PKK NTT dan Dinas teknis terkait.

“TP-PKK NTT sendiri telah melaksanakan Rp 11.444.118.100 (hampir 50 persen dari total anggaran stunting tahun 2020 dari APBD NTT). Ini jauh melampaui nilai proyek penanganan stunting oleh dinas teknis terkait yang nilainya hanya sekitar ratusan juta. Kok peran TP-PKK NTT melebihi dinas teknis. Sekalian saja TP-PKK menjadi ‘Dinas PKK NTT’,” kritiknya.

Hegon Kelen menjelaskan, bahwa berdasarkan LHP BPK, dari dana Rp 125,9 Milyar tersebut dialokasikan untuk 36 paket kegiatan penanganan stunting pada tahun 2018-2020 yang tersebar di semua dinas teknis terkait. Khusus ditahun 2020 ada 17 paket kegiatan senilai Rp 61,29 Milyar. “Yang luar biasa, TP-PKK NTT sendiri menangani 8 (delapan) paket kegiatan yang dititipkan melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) NTT dan Dinas Kesehatan NTT senilai Rp 11,44 Milyar. Ini yang namanya monopoli!” tegasnya.

Hegon Kelen merincikan 8 paket proyek stunting yang ditangani TP-PKK NTT sesuai LHP BPK adalah sebagai berikut:

1) PMT Balita Kurus di desa Model PKK Pemberian Bahan Makanan untuk desa model di 6 Kabupaten selama 60 hari (melalui Dinas Kesehatan Tahun 2019 senilai Rp 326.000.000).
2) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi ibu Hamil, Ibu Menyusui, Bayi, Balita, Anak PAUD dan SD (Dinas PMD melalui TP-PKK tahun 2020 senilai Rp 9.034.356.500).
3) Pemberian Obat Gizi penderita Gizi Buruk (Dinas PMD melalui TP-PKK tahun 2020 senilai Rp 198.000.000).
4) Pengadaan Poster Pola Makan Dengan Menu B2SA/Beragam, Berimbang, Sehat dan Aman (Dinas PMD melalui TP-PKK tahun 2020 senilai Rp 2.900.000)
5) Pengadaan Buku Resep Buku resep masakan berbahan dasar kelor dan pangan lokal untuk pencegahan stunting (Dinas PMD melalui TP-PKK NTT tahun 2020 senilai Rp 10.000.000).
6) Bantuan Kebun Pertanian di 22 desa/kelurahan (Dinas PMD melalui TP-PKK Tahun 2020  senilai Rp 1.100.000.000)
7) Bantuan Budidaya ikan air tawar di 22 desa/kelurahan:2 kelompok (Dinas PMD melalui TP-PKK Tahun 2020 senilai Rp 264.501.600).
8) Pengadaan sarana dan prasarana Pos Pelayanan Terpadu/Posyandu (Dinas PMD melalui TP-PKK tahun 2020 senilai Rp 508.180.000).

“Dari 8 paket kegiatan itu, kita bisa lihat dengan sangat jelas bahwa TP-PKK NTT telah mengambil alih Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dinas teknis terkait stunting. Saya kira kejadian seperti ini baru ditemukan di NTT. Apakah karena Ketua TP-PKK NTT adalah isteri Gubernur? Atau karena Ketua TP-PKK NTT adalah Anggota Komisi V DPR RI (dari Partai Nasdem)?” ujarnya.

Anehnya, lanjut Hegon Kelen, berdasarkan LHP tersebut, realisasi anggaran dari 8 paket kegiatan tersebut mencapai seratus persen alias tidak tersisa satu Rupiah pun. Sementara realisasi dana pada dinas-dinas teknis selalu ada sisa dana pada setiap paket kegiatan.

“Ini tidak masuk akal, masa dari 8 paket kegiatan yang dikelola TP-PKK NTT tidak ada dana yang tersisa sama sekali. Ada apa ini?” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua TP-PKK NTT, Julie Sutrisno Laiskodat yang berusaha dikonfirmasi tim media ini via pesan WhatsApp pada Selasa (29/03) pukul 17.13 Wita tidak memberikan merespon, walau pesan tersebut telah dibaca.

Bunda Julie yang kembali dikonfirmasi tim media ini pada Selasa (05/04/2022) via pesan WA pada pukul 13.30 Wita hingga berita ini diturunkan belum menjawab.

Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Pokja stunting NTT, Ir. Sarah Lery Mboik mengakui program penanganan stunting di NTT tidak tepat sasaran. Ia juga mengungkapkan adanya monopoli daalam pelaksanaan program stunting oleh pihak tertentu.

“Saya tidak bermaksud untuk mencuci tangan (terkait masalah pencegahan stunting di NTT, red), tetapi yang saya lihat adalah banyak yang masih kerja one man show. Padahal ini (stunting, red) masalah multi sektor. Gereja harus kita libatkan, masjid harus kita libatkan, lembaga adat harus kita libatkan,” jelasnya.

Lery juga mengungkapkan adanya keterlibatan politisi tertentu dalam pelaksanaan program stunting.

“Bukan lu (anda) punya basis politik dimana, baru lu pi (pergi) ke situ. Ini yang jadi soal. Saya memang tidak bisa pungkiri. Itu namanya temuan BPK memang begitu karena kerja penanganan stunting tidak berdasarkan hasil ansit,” tegasnya. (AT /tim)

Kategori
Berita Daerah

Wawali Minta Dukungan Pentahelix Dorong Percepatan Penurunan Stunting

Spiritnesia.Com, Kota Kupang – Wakil Wali Kota Kupang, dr. Hermanus Man meminta dukungan pentahelix dalam mendorong percepatan penurunan stunting, tidak hanya di Kota Kupang tapi juga di NTT pada umumnya. Permintaan tersebut disampaikannya saat menjadi nara sumber dalam kampanye percepatan penurunan stunting yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) Provinsi NTT di Auditorium Undana Kupang, Senin (4/4).

Menurutnya upaya penurunan stunting bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Pentahelix yang dimaksudkannya antara lain terdiri atas pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan serta media sebagai pemberi informasi yang edukatif.

Pada kesempatan yang sama, kepada para mahasiswa yang menurutnya bakal menjadi calon pengantin dan orang tua masa depan, Wawali berpesan untuk mempersiapkan diri secara baik sebelum menikah agar kelak melahirkan bayi-bayi yang bebas stunting. Pemkot Kupang akan mengeluarkan regulasi yang mewajibkan para calon pengantin memenuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan, seperti batasan usia dan indeks massa tubuh sebelum pasangan calon pengantin diizinkan untuk menikah sebagai upaya pencegahan stunting mulai dari hulu. “Manusia yang hebat dihasilkan oleh rahim yang disiapkan secara baik dan benar,” ungkapnya. Selain itu Wawali juga menekankan tentang pentingnya asupan gizi dan nutrisi yang cukup bagi bayi, terutama pada 1000 hari pertama.

Rektor Universitas Nusa Cendana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, mengakui stunting sudah merupakan problem nasional. Bahkan 5 kabupaten di NTT meraih angka stunting tertinggi secara nasional. Menurutnya untuk menurunkan angka stunting hingga 14 persen sesuai target pemerintah pusat dibutuhkan kerja keras. Undana melalui program Merdeka Belajar Kampus Belajar yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi siap menerjunkan para mahasiswanya ke tengah masyarakat untuk mendampingi masyarakat sekaligus memberikan pemahaman tentang upaya penanganan stunting. Selain itu ada juga program lainnya seperti penelitian dan pengabdian masyarakat yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung upaya percepatan penurunan stunting.

Hadir dalam kampanye tersebut sebagai nara sumber, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena, yang membawakan materi Kampanye Percepatan Penurunan Stunting dan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi NTT, Marianus Mau Kuru,SE., MPH yang membawakan materi tentang Kebijakan Program Bangga Kencana Untuk Percepatan Penurunan Stunting. Turut mendampingi Wawali dalam kegiatan tersebut, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Kupang, drg. Fransisca J.H. Ikasasi dan Kepala Bappeda Kota Kupang, Djidja Kadiwanu, SE, Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kota Kupang, I Gusti Agung Ngurah Suwarnawa beserta jajaran. (**)

Kategori
Berita Daerah

Monopoli Proyek Stunting, KOMPAK Indonesia Desak Ketua Pokja  Laporkan Oknum Politisi Ke KPK

Spiritnesia.Com, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Pemberantasan  Korupsi  (KOMPAK) Indonesia dan AMMAN Flobamora serta sejumlah lembaga pegiat anti korupsi mendesak ketua Pokja Stunting NTT, Sarah Lery Mboeik untuk melaporkan  oknum politisi yang memonopoli proyek penanganan stunting di Provinsi NTT.

Demikian disampaikan Ketua KOMPAK Indonesia, Gabriel Goa dalam rilis pers yang diterima tim media ini, Sabtu (26/3/22).

“Ketua Pokja Stunting NTT yang dulu dikenal garang dalam pemberantasan Korupsi wajib hukumnya untuk melaporkan resmi Penyalahgunaan Kekuasaan dan Tindak Pidana Korupsi, termasuk oknum politisi yang memonopoli proyek penanganan stunting di NTT ke KPK RI, “tegas Gabriel.

Ia  juga menyampaikan bahwa KOMPAK Indonesia siap mendampingi  Ketua Pokja stunting NTT untuk melapor ke KPK dengan menyertakan bukti-bukti berupa Laporan Hasil Audit BPK RI.

“Ibu Sarah juga bisa membongkar One Man Show di NTT yang diduga kuat sangat berkuasa sehingga OPD bertekuk lutut tak berdaya dalam realisasi program stunting sehingga salah sasaran,” ujar  Gabriel Goa.

Terpanggil untuk mendukung Ketua Pokja Stunting NTT yang juga menjabat  Direktur PIAR itu, KOMPAK Indonesia menyatakan dukungannya melalui beberapa poin sikap yakni:  Pertama, siap mendampingi Ketua Pokja Stunting NTT, melaporkanPenyalahgunaan Kekuasaan dan Korupsi Berjamaah dalam penggunaan Anggaran Stunting NTT yang sudah ludes sebesar 165 miliar.

Kedua, siap mendampingi Ketua Pokja Stunting NTT dalam membongkar Sosok One Man Show yang sangat berkuasa menyalahgunakan dana penanganan stunting di NTT;

Ketiga, jika Ketua Pokja Stunting NTT tidak melakukan apa-apa alias takut membongkar korupsi berjamaah dana stunting di NTT senilai 165 miliar, maka kami dari KOMPAK Indonesia bersama AMMAN Flobamora beserta pegiat Anti Korupsi akan melaporkan resmi Ketua Pokja NTT beserta OPD terkait, yang terlibat aktif dalam penggunaan dana stunting senilai 165 miliar yang tidak tepat sasaran.

Seperti diberitakan sebelumnya, para pegiat anti korupsi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia menilai, dana Program Pencegahan Stunting senilai Rp 165 Milyar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) Tahun Anggaran (TA) 2018 hingga 2021 ludes atau habis dikelola Pemprov NTT, tetapi tidak berdampak signifikan bagi penurunan stunting (anak tumbuh kerdil, red) di NTT. Angka stunting di NTT malah tetap tertinggi di Indonesia ditahun 2022, yaitu 22 persen (naik 1,1 persen dari tahun 2021 yaitu 20,9 persen, red).

“Bahkan menurut data media CNN pada 5 Maret 2022, tercatat ada 5 (lima) dari 22 Kabupaten/Kota di NTT (Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur, red) masuk kategori angka tertinggi stunting di Indonesia ditahun 2022. Ini miris, anggaran besar dialokasikan untuk cegah stunting tapi angka stunting terus naik dan tinggi di NTT,” kritik duo lembaga pegiat anti korupsi itu.

Ketua KOMPAK Indonesia dan AMMAN Flobamora menduga gagalnya Pemprov NTT (khususnya Pokja Penanganan Stunting, red) dalam pencegahan stunting, oleh karena perencanaan program dan pelaksanaannya, termasuk pengelolaan anggaran program tersebut tidak tepat sasaran.

Sementara itu, Ketua
Kelompok Kerja (Pokja) penanganan pencegahan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sarah Lery Mboeik mengakui pelaksanaan program pencegahan stunting di NTT oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), khususnya dinas teknis terkait tidak tepat sasaran. Salah satu sebabnya yaitu, karena tidak adanya komitmen OPD dan dinas teknis terkait dalam melaksanakan program sesuai rancangan tata kelola pelaksanaan program sebagaimana hasil design Pokja.

“Banyak program (yang dilaksanakan baik oleh OPD di Provinsi maupun Kabupaten/Kota, red) tidak berbasis pada hasil ansit atau hasil analisa situasi (yang didesign Pokja, red), makanya ada temuan (BPK, red) disitu,” jelasnya.

Sarah menjelaskan, bahwa program PMT (pemberian makanan tambahan) yang seharusnya diberikan kepada anak balita gizi buruk, diberikan tidak tepat sasaran pada para penerima manfaat program.

“Misalnya, seharusnya diberikan kepada anak Balita, tetapi diberikan kepada anak SD atau anak SMP. Itu misalnya begitu. Kemungkinan besar seperti itu. Kemungkinan tidak tepat sasaran kepada semua anak gizi buruk,” ungkapnya. (AT.SN/TIM)

Kategori
Berita Daerah Perempuan dan Anak

OPD Laksanakan Program Pencegahan Stunting Tidak Sesuai Hasil Ansit Pokja

Spiritnesia.Com, Kota Kupang – Kelompok Kerja (Pokja) penanganan pencegahan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengakui pelaksanaan program pencegahan stunting di NTT oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), khususnya dinas teknis terkait tidak tepat sasaran. Salah satu sebabnya yaitu, karena tidak adanya komitmen OPD dan dinas teknis terkait dalam melaksanakan program sesuai rancangan tata kelola pelaksanaan program sebagaimana hasil design Pokja.

Demikian tanggapan Ketua Pokja Stunting NTT, Sarah Lary Mboik saat diwawancarai tim media ini di Kantor PIAR NTT pada Kamis (24/03/2022), terkait ludesnya anggaran besar Rp 165 Milyar, tetapi stunting di NTT tertinggi di Indonesia.

“Banyak program (yang dilaksanakan baik oleh OPD di Provinsi maupun Kabupaten/Kota, red) tidak berbasis pada hasil ansit atau hasil analisa situasi (yang didesign Pokja, red), makanya ada temuan (BPK, red) disitu,” jelasnya.

Sara Lary Mboik menjelaskan, bahwa program PMT (pemberian makanan tambahan) yang seharusnya diberikan kepada anak balita gizi buruk, diberikan tidak tepat sasaran pada para penerima manfaat program.

“Misalnya, seharusnya diberikan kepada anak Balita, tetapi diberikan kepada anak SD atau anak SMP. Itu misalnya begitu. Kemungkinan besar seperti itu. Kemungkinan tidak tepat sasaran kepada semua anak gizi buruk,” ungkapnya.

Kemudian air bersih, lanjutnya, juga kemungkinan program tersebut tidak diberikan pada daerah lokus stunting.
“Itu temuan BPK, kita mesti akui. Dan kami sendiri (Pokja) juga temukan itu dan mempertanyakan konsistensi teman-teman (OPD Provinsi dan Kabupaten/Kota, red) terhadap hasil ansit itu,” kritiknya.

Menurutnya, program pencegahan stunting tidak tepat sasaran juga karena program tersebut tidak dilakukan dalam satu koordinasi tim kerja yang kompak dan solid. Sebaliknya, pelaksanaan program pencegahan stunting terkesan hanya monopoli orang tertentu atau one man show.

“Saya tidak bermaksud untuk mencuci tangan (terkait masalah pencegahan stunting di NTT, red), tetapi yang saya lihat adalah banyak yang masih kerja one man show. Padahal ini (stunting, red) masalah multi sektor. Gereja harus kita libatkan, masjid harus kita libatkan, lembaga adat harus kita libatkan,” jelasnya.

Lanjut Sara, dari 25 cakupan persoalan dasar stunting, Pokja menemukan hal pertama dan mendasar yaitu sanitasi dan air bersih. Kedua, bina keluarga balita dan PKH.

“PKH itu yang kotong (kita) dapat (temukan di lapangan, red) ketika kita melakukan in depth monitoring, kartu PKH yang seharusnya dipegang ibu-ibu itu dipegang oleh bapak-bapak. Padahal, tujuannya untuk pemulihan kesehatan. Tetapi ditemukan, misalnya di Sumba, PKH itu digunakan untuk bayar hutang pesta,” bebernya.

Kemudian terkait air bersih, menurut Sara, seluruh wilayah untuk program 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan).

“Kita temukan, untuk be’ol (buang air besar, red) mereka taputar (berpindah-pindah). Ini hari disini, lalu besok di situ, dan seterusnya,” bebernya.

Seharusnya, kata mantan Anggota DPD RI itu, pihak yang melaksanakan program tersebut melaksanakan program air bersih tepat pada sasaran penerima manfaat program dan tidak sesuai kemauan atau keinginan pelaksana program.

“Bukan lu (anda) punya basis politik dimana, baru lu pi (pergi) ke situ. Ini yang jadi soal.
“Saya memang tidak bisa pungkiri. Itu namanya temuan BPK memang begitu karena kerja penanganan stunting tidak berdasarkan hasil ansit,” tegasnya. (SN.AT/tim)

Kategori
Berita Daerah

Salah Sasaran, Dana Rp 165 M Ludes, Stunting NTT Meningkat

Spiritnesia.Com, JAKARTA – Para pegiat anti korupsi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia menilai Dana Program Pencegahan Stunting senilai Rp 165 Milyar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) Tahun Anggaran (TA) 2018 hingga 2021 ludes atau habis dikelola Pemprov NTT, tetapi tidak berdampak signifikan bagi penurunan stunting (anak tumbuh kerdil, red) di NTT. Angka stunting di NTT malah tetap tertinggi di Indonesia ditahun 2022, yaitu 22 persen (naik 1,1 persen dari tahun 2021 yaitu 20,9 persen, red).

Demikian disampaikan Ketua Kompak Indonesia, Gabrial Goa dan Ketua AMMAN FLOBAMORA, Roy Watu Pati dalam rilis tertulis kepada tim media ini, pada Rabu (23/03/2022).

“Bahkan menurut data media CNN pada 5 Maret 2022, tercatat ada 5 (lima) dari 22 Kabupaten/Kota di NTT (Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur, red) masuk kategori angka tertinggi stunting di Indonesia ditahun 2022. Ini miris, anggaran besar dialokasikan untuk cegah stunting tapi angka stunting terus naik dan tinggi di NTT,” kritik duo pegiat anti korupsi itu.

Gabrial Goa dan Roy Watu Pati menduga gagalnya Pemprov NTT (khususnya Pokja Penanganan Stunting, red) dalam pencegahan stunting, oleh karena perencanaan program dan pelaksanaannya, termasuk pengelolaan anggaran program tersebut tidak tepat sasaran.

Duo pegiat anti korupsi yang akrab disapa Gab dan Roy itu menjelaskan, bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) Nomor 91.C/LHP/XIX.KUPANG/05/2021, tertanggal 17 Mei 2021 Tentang Kinerja Atas Efektifitas Upaya Pemprov NTT Dalam Mendukung Percepatan Pencegahan Stunting Pada Wilayah Provinsi NT Tahun Anggara (TA) 2018 s/d 2021, ada sejumlah program pencegahan stunting oleh Pemprov NTT yang dinilai bermasalah.

“Diantaranya pemberian Makanan Tambahan senilai Rp 46,5 Milyar. Pembangunan dan pengembangan air bersih senilai Rp 8,7 Milyar tidak direalisasikan pada desa prioritas pencegahan stunting, hibah ternak sekitar Rp 18,1 Milyar, rumah pangan lestari sekitar Rp 9,9 Milyar, bantuan stimulan perumahan sekitar Rp 32,2 Milyar. Kami nilai programnya gagal kena target penerima manfaat? Jadi masuk akal kalau tidak ada efek bagi penurunan stunting di NTT dan ini sangat disayangkan,” ungkap Roy dan Gab.

Gab dan Roy juga mengaku kecewa membaca informasi media (pada 23/03) tentang Angka Stunting di Povinsi NTT tahun 2022 mengalami kenaikan sebesar 1,1 % (persen) menjadi 22 persen dari tahun sebelumnya (tahun 2021, red) yang tercatat hanya 20,9 persen.

“Perlu dipertanyakan kapabilitas dan kinerja tim kerja (Pokja, red) Pemprov NTT terkait pencegahan stunting. Mungkin perlu dilihat dan dievaluasi lagi tim kerja oleh pasangan Viktori-Joss, karena sepertinya ada yang kurang beres terkait pengelolaan program dan anggarannya, yang tidak berpengaruh signifikan bagi penurunan stunting di bumi Flobamora,” tegas Gab dan Roy.

Yang paling penting, kata Gab dan Roy, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu hadir di NTT untuk menelusuri dugaan adanya penyimpangan atau penyelewengan pengelolaan dana program tersebut, karena itu dana negara yang diperuntukkan bagi kepentingan rakyat yang sedang menderita.

Menurut BPK, lanjut Gab dan Roy, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2019 tentang Aksi Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting di Provinsi NTT Tahun 2019-2023, Pemprov NTT memiliki peran untuk meningkatkan koordinasi antara Perangkat Daerah Provinsi dengan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terkait pelaksanaan Aksi Konvergensi Stunting.

“Termasuk di dalamnya pelaksanaan kegiatan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Namun dari hasil pemeriksaan di lapangan, diketahui bahwa masih terdapat permasalahan terkait pelaksanaan kegiatan intervensi gizi sensitif,” tulis Gab dan Roy mengutip LHP BPK.

Permasalahan tersebut menurut BPK, jelas Gab dan Roy, antara lain: a)Koordinasi Intervensi Gizi Spesifik belum dilaksanakan, seperti 1)Bina Keluarga Balita; dan 2) Pengelolaan PAUD. b)Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan dan Pengembangan Air Bersih belum diprioritaskan di Lokasi Prioritas Stunting.

Menurut BPK, lanjut Gab dan Roy, kondisi tersebut tidak sesuai dengan: 1)Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (stunting) Periode 2018-2024 dan Keputusan Gubernur NTT Nomor 159/KEP/HK/20 T tentang lokasi prioritas penanganan kemiskinan dan stunting Provinsi NTT tahun 2020 dan 2021. Juga Peraturan Gubernur NTT Nomor 71 Tahun 2019 tentang Aksi Percepatan Pencegahan dan Penanganan Sunting di Provinsi NTT Tahun 2019-2023.

Juga menurut BPK, beberapa Gab dan Roy, kondisi tersebut disebabkan oleh: a)Pemerintah Provinsi NTT belum menyusun pedoman pelaksanaan koordinati antar OPD lintas sektor dan pelihatan pihak son-pemerintah;

b)Dinas Kesehatan Provinsi NTT belum melakukan koordinasi OPD Lintas Sektor terkaitkegiatan BKB dan Dinas Pendidikan Provina NTT terkait Kelas Pendidikan Pengasihan pada Orang Tua, dan Pengelolaan PAUD;

c)Dinas PUPR Provinsi NTT belum mengutamakan lokasi prioritas sunting dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan air bersih;

d)Dinas PMD Provinsi NTT belum melakukan monitoring terhadap kegiatan yang dilakukan oleh petugas pelaporan pemantauan Ibu dan Bayi; dan
e)Bappelitbangda belum melakukan sosialisasi atas kebijakan pemberian belanja bantuan khusus kepada kabupaten kota.

Gab dan Roy menjelaskan, bahwa BPK selanjutnya merekomendasikan kepada Gubernur NTT agar menginstruksikan: à)Sekretaris Daerah untuk menyusun kebijakan pelaksanaan koordinasi OPD lintas sektor tingkat provimi dan mekanisme kerjasama atau keterlibatan pihak lain (non pemerintah); b)Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT untuk melakukan koordinasi OPD Lintas Sektor terkait pelaksanaan BKB dan Dinas Pendidikan Provinsi NTT terkait pelaksanaan Kelas Pendidikan Pengasihan pada Orang Tua, dan Pengelolaan PAUD;

c)Kepala Dinas PUPR untuk ke depannya mempertimbangkan lokasi prioritas sunting untuk pembangunan dan pengembangan air bersih; d)Kepala Dinas PMD Provinsi NTT untuk bersurat kepada Dinas PMD Kabupaten Kota agar melaporkan kegiatan pemantauan ibu dan bayi, dan; e)Kepala Bappelitbangda Provinsi NTT untuk mensosialisasikan kebijakan pemberian Belanja Bantuan Khusus kepada kabupaten/kota. (SN.AT /tim)