Kategori
Berita Daerah Nasional

Polisi Diminta Usut Dugaan Kejahatan Oleh Komisaris Bank NTT

Spiritnesia.Com, Jakarta – Dewan Komisaris Bank NTT diduga telah melakukan tindak kejahatan perbankan karena menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 01.A tentang penetapan honorarium Tim Uji Kelayakan dan Kepatuhan bagi calon pejabat pada Bank NTT. Kebijakan tersebut dinilai sebagai penyalahgunaan kewenangan karena melanggar Peraturan OJK, UU tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Perpajakan dan memperkaya diri sendiri serta merugikan keuangan Bank NTT hingga ratusan juta rupiah. Karena itu, Kapolda NTT dan jajarannya diminta segera mengusut tuntas kasus dugaan kejahatan yang merugikan Bank NTT tersebut.

Demikian pernyataan Wakil Sekjen Peradi Pergerakan Aktivis 1998, Gregorius B. Djako, SH, CLA yang dimintai tanggapan pada Senin (31/5/22) terkait penerbitan SK -1.A oleh Dewan Komisaris Bank NTT tentang Penetapan Honorarium Tim Uji Kelayakan dan Kepatuhan (Fit and Proper Test) bagi calon pejabat Bank NTT.

Gregorius yang berhasil dihubungi tim media ini pada Senin pekan lalu menegaskan bahwa Surat Keputusan (SK) Dewan Komisaris Bank NTT Nomor: 01.A Tahun 2020 tentang penetapan honorium untuk tim uji kelayakan dan kepatuhan bagi calon pejabat pada Bank NTT patut diduga sebagai tindakan kejahatan perbankan dan menguntungkan/memperkaya diri. Perbuatan itu diduga melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Tata Kelola Bagi Bagi Bank Umum, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/Pj/2015 tentang Pajak penghasilan Pasal 21.

“Dewan Komisaris tidak boleh intervensi seleksi calon pejabat dan calon karyawan. Itu sangat operasional dan menjadi tugas Direksi. Dewan Komisaris/Ketua KRN juga tidak punya kewenangan menetapkan honor. Apalagi honor untuk dirinya sendiri. Itu melanggar POJK tentang Tata Kelola Perbankan dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ini jelas-jelas merupakan tindak pidana kejahatan karena menyalahgunakan kewenangan dan memperkaya diri sendiri,” tandas Gregorius.

Karena itu, Gregorius meminta aparat Kepolisian Polda NTT dan jajarannya untuk mengusut tuntas masalah tersebut. “Penyalahgunaan kewenangan ini merupakan kejahatan karena itu menjadi ranah kepolisian. Karena itu, Pak Kapolda tolong usut tuntas kasus ini,” pintanya.

Gregorius menjelaskan, pada tahun 2020 lalu mantan Kepala Kancab Bank NTT Kabupaten Kupang diproses hukum oleh Polres Kabupaten Kupang. “Kalau mantan Kakancab Bank NTT Kabupaten Kupang bisa diproses hukum dan dipenjara karena diduga salah gunakan kewenangan, mengapa Komisaris Bank NTT tidak diproses hukum?” ujarnya.

Gregorius menjelaskan, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan honorarium Dewan Komisaris (dalam seleksi calon Direksi, red) adalah Direktur Utama berdasarkan rekomendasi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Komisaris itu hanya boleh ikut serta dan dibayar honornya dalam seleksi calon Direksi. Sedangkan seleksi calon pejabat dan pegawai itu tugasnya Direksi,” ujarnya.

Dengan demikian, lanjut Gregorius, Dewan Komisaris yang menjadi asesor dalam seleksi pejabat dan pegawai telah menyalahi aturan dan mengintervensi tugas Dewan Direksi. “Apalagi menetapkan honor bagi diri sendiri yang nilainya sangat fantastis, mencapai Rp 10 per hari untuk komisaris dan Rp 20 juta/hari untuk asesor eksternal. Ini sangat merugikan Bank NTT,” bebernya.

Tidak hanya itu, lanjut Gregorius, Komisaris juga melakukan pelanggaran terhadap UU Perpajakan karena membebankan Pajak dari honor yang diterimanya kepada Bank NTT. “Apalagi dalam Surat Keputusan (SK) tersebut mengatur bahwa pajak honorium itu ditanggung oleh pihak pemberi yaitu Bank NTT. Hal ini bertentangan dengan aturan perpajakan. Aneh benar, kalian yang dapat uang tetapi pihak Bank NTT sebagai pemberi harus menanggung pajak, apa-apaan ini? Ini lupa atau pura-pura hilang ingatan?” kritiknya.

Menurut Ketua Bidang Advokasi DPC Peradi Kabupaten Bogor ini, dalam menerbitkan SK tersebut para Komisaris dan Komisaris Utama Bank NTT mungkin lupa atau sudah hilang ingatan ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/Pj/2015 tentang Pajak penghasilan pasal 21. Pajak penghasilan itu kata Gregorius, adalah pungutan wajib yang dikenakan pada individu maupun sebuah perusahaan berdasarkan jumlah pendapatan yang diterima dalam kurun waktu satu tahun.

Dijelaskan, UU pajak penghasilan di Indonesia adalah UU No. 36 Tahun 2008. Ada 7 jenis objek pajak, yaitu : (1) Dividen, sebagian pendapatan yang diberikan kepada pemegang saham perusahaan sebagai penghasilan; 2) Laba bruto dari usaha; 3) Keuntungan karena perniagaan; 4) Bunga yang anda dapatkan dari undian serta penghargaan tertentu; 5) Honorium hadiah yang didapatkan dari undian; (6) Gaji dari pekerjaan, tunjangan, tambahan penghasilan/insentif, dana pensiun serta imbalan lainnya; dan ke (7) penerimaan kembali dari pelunasan pajak.

Menurut Gregorius didalam PPh 21 itu, pajak atas PPh atau pajak penghasilan dikenakan kepada orang pribadi/badan atas penghasilan berupa keuntungan usaha, gaji, honorium, hadiah dan lainnya yang diterima dalam kegiatan yang dilakukan orang pribadi subyek pajak dalam negeri. “Kita clear dulu soal Peraturan Dirjen Pajak tersebut. Apalagi Undang-Undang Pajak Penghasilan di negara kita Indonesia ini, menganut prinsip pemajakan atas penghasilan atas tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut,“ tandasnya.

Pajak, kata Gregorius, bersifat wajib dan memaksa sehingga negara menetapkan sanksi bagi wajib pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak atau sengaja menolak untuk bayar pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berupa penyendaraan/gijzeling.

“Komisaris Bank NTT diduga telah melakukan pelanggaran tersebut berupa, kealpaan yaitu sengaja, lalai, tidak mengindahkan kewajiban pajak. Sehingga para Komisaris Bank NTT dapat dipidana dengan jenis pelanggaran bersifat kejahatan,” paparnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Amos Corputty sebagai pemegang saham seri B Bank NTT meminta para pemegang saham Bank NTT untuk melakukan RUPS Luar Biasa untuk mencopot Komut dan jajaran Komisaris Bank NTT karena mengintervensi tugas operasional Dewan Direksi dengan menerbitkan SK 01.A yang menetapkan honorarium bagi Tim Seleksi/asesor calon pejabat dan pegawai Bank NTT senilai Rp 10 s/d 20 juta per hari. Dewan Komisaris sebagai asesor internal dibayar Rp 10 Juta/hari.

Selain itu, dalam SK 01.A tersebut Dewan Komisaris juga membebankan pajak penghasilan dari honornya kepada Bank NTT. Komisaris Utama (Komut) Bank NTT juga diduga mengangkat dirinya sebagai Ketua Tim Penyelesaian Kredit Bank NTT Surabaya. (SN/tim)