Kategori
Berita Daerah

Pegiat Anti Korupsi Pertanyakan Kinerja OJK dan Kejati NTT Terkait Kasus MTN Rp 50 M Bank NTT

Spiritnesia.Com, Jakarta – Pegiat Anti Korupsi yang tergabung dalam organisasi Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN Flobamora) dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (KOMPAK Indonesia) mempertanyakan kinerja lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dinilai gagal mengawasi aktifitas bisnis perbankan Bank NTT, dalam pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP dengan cupoun rate 10% atau senilai Rp 10,5 Milyar, yang menyebabkan total kerugiaan negara dan daerah senilai Rp 60,5 Milyar. Pegiat anti korupsi juga mempertanyakan kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT dalam penanganan kasus tersebut yang hingga hari ini tanpa hasil.

Demikian disampaikan Ketua AMMAN Flobamora, Roy Watu Pati dan Ketua GRAK, Gabrial Goa dalam rilis tertulis yang diterima tim media ini pada Sabtu (23/04/2022) terkait kasus gagal bayar MTN Rp 50 Milyar oleh PT. SNP kepada Bank NTT.

“Sebagai masyarakat NTT yang peduli pembangunan bumi Flobamora, patut kita menggugat kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas bisnis perbankan Bank Daerah tersebut yang kecolongan bahkan kita nilai gagal mengawasi dugaan praktek korupsi dalam proses pembelian MTN Rp 50 Milyar itu. OJK bahkan bersikap masa bodoh terhadap dugaan adanya keterlibatan sejumlah oknum dalam kasus tersebut yang hingga saat ini masih bercokol ditampuk kepemimpinan bank NTT. Lalu Aparat Penegak Hukum/APH, khususnya Kejati NTT yang menangani  kasus tersebut juga seakan ‘macan ompong’ tanpa power untuk mengusut oknum yang diduga bertanggungjawab atas kasus tersebut,” tulis duo aktifis anti korupsi itu.

Menurut Roy dan Gab,  jika mempelajari kronologi pembelian surat hutang tersebut secara teliti, publik akan menemukan secara jelas, bahwa pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT dari PT. SNP terdapat pelanggaran paling fundamental untuk sebuah proses investasi yaitu tidak adanya uji kelayakan investasi sebelum melakukan investasi. Padahal, uji kelayakan sangat berguna agar Managemen Bank mengetahui bagaimana kemampuan calon debiturnya dan bank mesti memiliki keyakinan berdasarkan hasil penilaian terhadap debiturnya atau yang di kenal dengan istilah due dilligence.

“Bagaimana bisa pembelian MTN bernilai fantastis yakni Rp 50 M tidak memiliki studi kelayakan atau due diligence . Halo OJK & APH (Kejati NTT, red) bagaimana pendapatmu? Bank NTT juga tidak melakukan checking apakah PT. SNP memiliki pinjaman pada bank lain atau tidak? Sebagai pembanding, untuk memberikan kredit kepada ASN yang gajinya sudah pasti melalui bank NTT saja, wajib dilakukan checking apakah calon debitur memiliki pinjaman pada bank lain atau tidak yang dikenal dengan istilah SLIK (Sistim Layanan Informasi Keuangan). Adalah fakta bahwa PT. SNP memiliki rekening pinjaman pada bank lain tidak terendus. Ini kelalaian atau kesengajaan? Halo OJK & APH tolong ini dicheck ke bank NTT, apakah ini taat aturan atau tidak?” kritiknya.

Duo pegiat anti korupsi itu juga menjelaskan, pembelian MTN Rp 50 Milyar merupakan aktifitas investasi yang diduga tanpa dasar kebijakan tertulis sebagai instrumen investasi. Yang dimiliki bank NTT (saat itu atau saat pembelian MTN Rp 50 M, red) adalah kebijakan Penempatan Uang Antar Bank (PUAB). Bank NTT kala itu  juga belum memiliki kebijakan penempatan uang pada bank. PT. SNP pun bukan lembaga keuangan bank. Pertanyaannya, bagaimana mungkin bank NTT bisa nekat melakukan investasi yang belum didukung dengan kebijakan internalnya sendiri?

“Halo OJK & Kejati NTT dimana kalian? Pembelian MTN itu tidak masuk dalam rencana bisnis bank, padahal  OJK mewajibkannya melalui POJK Nomor 5 /POJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis Bank Bab II tentang cakupan rencana bisnis pasal 11 Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f paling sedikit meliputi: 1)Rencana penghimpunan dana pihak ketiga; 2)Rencana penerbitan surat berharga; 3)Rencana pendanaan lainnya,” kritiknya lagi.

Menurut Gab dan Roy, pelanggaran yang lain terkait proses pembelian MTN Rp 50 Milyar yaitu PT. Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk   mengetahui   alamat   kantor   dan   mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT. SNP baru terjadi setelah PT. SNP mengalami permasalahan gagal bayar. “Halo OJK dan Kejati NTT mengapa ini dibiarkan? Halo OJK dan Kejati NTT apakah bank boleh demikian?” ujar Roy dan Gab.

Berikut, kata Roy dan Gab, PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak pembelian MTN. “Hallo Kejati NTT dan OJK, dimana kalian ketika melihat audit BPK yang terang benderang seperti ini?” tanya mereka.

Berikut para pegiat anti korupsi itu menguraikan kronologi penerbitan MTN yang berujung macet alias gagal bayar.
1)Tanggal 22 Maret tahun 2018 , Bank NTT melakukan penempatan dana dalam bentuk pembelian Medium Term Note (MTN) / surat berharga jangka pendek dari PT. SNP (Sunprima Nusantara Pembiayaan). Penempatan dana non bank yang dilaksanakan oleh PT Bank NTT pada tahun 2018 dalam bentuk pembelian MTN senilai Rp 50 miliar, dengan coupon rate 10,55% selama 2 tahun dengan rincian sebagai berikut:

2)Tanggal 02 Mei 2018 , PT. SNP Finance mengajukan permohonan pailit , melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikabulkan oleh PN Jakpus pada tanggal 4 Mei 2018.

3)Pada tanggal 23 Mei 2018, bank NTT menunjuk Advokat dan konsultan hukum pada kantor ANC & Co. advocate & solicitor sesuai dengan surat kuasa Nomor 19/DIR/VI/2018 untuk mewakili dan atau mendampingi dan mengambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana maupun perdata dalam kasus PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Piutang) PT SNP.

4)Tanggal 31 Oktober 2018, PT. Bank NTT melakukan proses hapus buku MTN dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) MTN Rp 7,62 miliar.

5)Tanggal 21 Desember 2018, selanjutnya mengajukan surat persetujuan SOP Hapus Buku Surat Berharga kepada Dewan Komisaris PT Bank NTT dengan surat Direktur Pemasaran Dana nomor 605/DIR-DTs/XII/2018 .

6)Tanggal 26 Desember 2018 , Komisaris Utama melalui surat nomor 134/DK Bank NTT/XII/2018 menyetujui permohonan SOP Hapus buku yang di ajukan oleh Direktur Pemasaran Dana .

7)Tanggal 28 Desember 2018, Divisi treasury PT. Bank NTT mengusulkan penghapusbukuan Surat Berharga MTN PT. SNP dengan membentuk CKPN kedua senilai Rp42.372.533.584,00.

8)Tanggal 31 Desember 2018 ,Direksi PT. Bank NTT menyetuji usulan Penghapus bukuan tersebut dengan Surat Keputusan nomor 147 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Penghapus Bukuan Surat berharga Tahun Buku 2018 atas MTN PT. SNP senilai Rp50 miliar.

9)Tanggal 4 Januari 2020  BPK Melakukan audit pada Bank NTT. Salah satunya BPK merekomendasika kepada:
a)Dewan  Komisaris  dalam  RUPS  agar  meminta  Jajaran  Direksi  PT. Bank  NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT. SNP senilai Rp 50.000.000.000,00, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan
b)Direktur Utama agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence. (SN/tim).

Kategori
Berita Daerah

Proses Kasus MTN Rp 50 M Bank NTT, Kejati Tunggu Penelusuran Aliran Dana oleh PPATK

Spiritnesia.Com, KUPANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini masih menunggu laporan hasil penyelidikan/penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang aliran transaksi keuangan terkait kasus kerugian keuangan negara/daerah akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT pada PT. SNP.

Demikian penjelasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Hutama Wisnu, S.H.,MH melalui Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H., MH saat ditemui tim media pada pekan lalu (30/03/2022).

“Mengenai MTN itu sampai sekarang masih menunggu laporan dari PPATK. Itu kalau tidak salah sekitar 16 rekening yang disuruh lacak. Yang sudah keluar cuma 6 atau 7 rekening. Pokoknya di bawah 10 lah. Nah ini yang sementara PPATK bekerja karena 1 rekening itu bisa makan waktu berapa lama,” ungkapnya.

Menurutnya, lambatnya proses penanganan kasus MTN Rp 50 Milyar oleh Kejati NTT karena penelusuran atau pelacakan sejumlah rekening yang diduga merupakan arah aliran uang pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT membutuhkan waktu yang lama. “Hambatan selama ini di PPATK karena buku rekening itu masih dianalisis, mau 5 huruf pun tercatat itu, nah itu dilihat semua,” tegasnya.

Abdul juga mengungkapkan, bahwa kasus MTN Rp 50 Milyar sudah diexpos (gelar perkara, red) diinternal Kejati NTT sebelum Kajati lama (Dr. Yulianto, S.H.,MH) pindah atau meninggalkan NTT.

“Expos interen saja untuk menentukan bagaimana kasus ini (MTN Rp 50 Milyar, red) apa masih mau dilanjut lagi atau stop? Disampaikan hambatan-hambatannya. Ya pasti lanjut terus. Tapi kalau keputusan lanjut, bagaimana?” tandasnya.

Menurutnya, Kejati NTT masih mendalami untuk memastikan apakah kasus MTN Rp 50 Milyar masuk pidana perbankan ataukah pidana khusus (korupsi/kerugian negara, red). “Bahwa ini susah pembuktiannya, atau mungkin ada tersangkut dengan perkara pidana lain bukan pidana khusus, kan bisa saja. Undang-undang perbankan ada. Beda tipis kaya penipuan dan penggelapan ini,” jelasnya.

Abdul Hakim mengakui, bahwa kemungkinan kasus MTN Rp 50 Milyar masuk dalam kerugian keuangan negara, tetapi juga butuh disertai bukti-bukti yang kuat dan akurat. “Betul kerugian negara, tapi kita kan nggak tahu resiko bisnisnya berapa? Platform bank Rp 100 Milyar? Rp 200 Milyar? Rp 50 Milyar? atau Rp 10 Milyar aja? Resiko bisnisnya. Karena jangan sampai oke terbukti (kerugian keuangan negara, red), tetapi jika tidak terbukti di Mahkamah Agung? Maka itu kita cek, gitu aja,” katanya.

Ia menjelaskan, bahwa jika kasus MTN Rp 50 Milyar jatuh pada pidana perbankan, maka ranah penyelesaiannya oleh Polri bukan Kejaksaan. “Ada aturannya nggak yang dia langgar? Kalau tidak ada aturannya berarti urusan Polri. Bisa saja ke undang-undang perbankan, masalah kerugiannya dikembalikan ke Negara. Kalau bukan aturan perbankan yang dia langgar, itu bisa langsung cepat sekali sudah (ditangani Kejati NTT, red),” tegasnya.

Abdul Hakim mengungkapkan, bahwa Kejati NTT sangat berhati-hati menangani kasus MTN Rp 50 Milyar bank NTT, karena Kejati NTT harus memastikan kasus tersebut pidana khusus ataukah pidana perbankan . “Memang betul kerugian negara, tapi ada aturan perbankan yang dilanggar nggak? Perbankan seluruhnya dan perbankan Bank NTT ada nggak aturannya?” tandasnya.

Menurutnya, jelas bahwa dunia perbankan memiliki aturan dan Standart Operational Procedure), tetapi terkait MTN Rp 50 Milyar tidak ada SOP. “Dan yang lebih jelas aturan perbankan dan SOP-nya ada semua. MTN kan belum ada. Kalau ada aturan yang dilanggar itu jelas, tidak perlu tunggu-tunggu lagi,” ungkapnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, proses penyelidikan kasus Medium Term Note (MTN) yang merugikan keuangan Bank NTT senilai Rp 60,5 M (berdasarkan LHP BPK RI, red) oleh Kejati NTT belum menunjukan progres yang berarti. Bahkan proses penyelidikan kasus Fraud (kecurangan perbankan, red) ini terkesan ‘tenggelam’ di Kejati NTT.

Para pegiat anti korupsi terus mendesak Kejati NTT untuk mempercepat proses hukum kasus yang merugikan Bank NTT hingga Rp 60,5 M. Mantan Kajati NTT, Yulianto sempat berjanji untuk mempercepat proses hukum kasus tersebut dengan melakukan ekspose/gelar perkara.

Berdasarkan LHP BPK RI Tahun 2019, setidaknya ada 7 pelanggaran yg dilakukan dalam proses pencairan dana untuk pembelian MTN (Surat Pengakuan Hutang PT. SNP), yakni :
• Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus baru dilakukan setelah PT SNP mengalami gagal bayar MTN.
4. Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT. Bank NTT belum memiliki pedoman pembelian dan batas nilai pembelian MTN.
5. Tidak melakukan telaah terhadap laporan keuangan audited PT. SNP tahun 2017 tapi hanya berpatokan pada peringkatan yang dilakukan PT Pefindo tanpa memperhatikan press realease PT Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan hanya berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 PT. SNP yang belum diaudit. Dengan demikian, mitigagasi terhadap resiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik;
6. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut. Konfirmasi hanya dilakukan kepada bank yang melakukan pembelian MTN PT. SNP;
7. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK. (SN01/tim)

Kategori
Berita

Pegiat Anti Korupsi Minta Kejati NTT Segera Proses Hukum Aleks Riwu Kaho Terkait Kasus MTN Rp 50 Milyar

Sritnesia.Com, JAKARTA – Pegiat Anti Korupsi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk segera mennagkap dan menahan serta memproses hukum mantan Kepala Divisi (Kadiv) Treasury Bank NTT, Aleks Riwu Kaho (saat ini Dirut Bank NTT, red), karena dinilai bertanggung jawab atas kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP. Aleks Riwu Kaho selalu Kepala Divisi Treasury bank NTT (saat itu, red) diduga sengaja bahkan lalai dengan menandatangani (menyetujui, red) pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP yang merugikan keuangan negara dan daerah serta keuangan masyarakat NTT.

Demikian disampaikan Ketua AMMAN FLOBAMORA, Roy Watu Pati dan Ketua Kompak Indonesia, Gabrial Goa dalam rilis tertulis kepada tim media ini, pada Senin (21/03/2022).

“Kami minta Kejati NTT untuk abaikan keputusan para pemegang saham dalam hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT Tahun 2022 di Labuan Bajo kali lalu, bahwa kasus kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar di PT. SNP sebagai risiko bisnis. Kami minta Kejati tangkap dan tahan serta proses hukum Aleks Riwu Kaho. Keputusan RUPS (terkait MTN Rp 50 Milyar sebagai business judgement rules, red) kemarin terkesan hanya trik untuk melindungi terduga pencuri uang negara dan daerah serta rakyat dari jeratan hukum,” tulis duo pegiat anti korupsi.

Menurut Roy Watu Pati dan Gabrial Goa, kasus kerugian bank NTT melalui pembelian MTN Rp 50 Milyar merupakan tindakan kejahatan perbankan yakni perampokan uang negara dan daerah serta masyarakat NTT, yang diduga dilakukan dengan sengaja oleh sejumlah orang dengan tujuan memperkaya diri atau sekelompok orang.

“Dan itu bukanlah risiko bisnis. Kalau itu risiko bisnis, maka tidak mungkin ia menjadi temuan BPK. Dengan demikian, jika ada indikasi temuan pelanggaran yang merugikan perekonomian negara dan daerah, maka semua pihak harus menghormati dan wajib menindaklanjuti LHP BPK tersebut,” jelasnya.

Kedua pegiat anti korupsi itu menegaskan, bahwa masalah MTN Rp 50 Milyar itu dikatakan resiko bisnis hanya apabila pembelian MTN Rp 50 M itu melalui suatu proses atau mekanisme yang baik dan yang ada di bank NTT. Faktanya, proses pembelian MTN itu tidak demikian. Pembelian MTN tersebut diduga hanya inisiatif dan keputusan beberapa oknum tertentu saja dan tidak diketahui serta tidak disetujui hirarki yang lebih tinggi di bank NTT.

“Dewan Direksi tidak tahu, hanya Kadiv Treasury (saat itu dijabat Aleks Riwu Kaho, red) dan Dirum Keuangan Bank NTT (yang saat itu dijabat Edu Bria Seran, red) yang tahu. Lalu bagaimana bisa dikatakan risiko bisnis. Jangan drama-drama lah dengan uang milik banyak pihak di bank NTT,” pinta keduanya.

Roy dan Gab lanjut membeberkan pelanggaran lain terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020, diantaranya yaitu:
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;
4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;
5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;
6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.

“Dasar ini seharusnya sudah menjadi dasar kuat dan cukup bagi para pemegang saham untuk merekomendasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Kejati NTT dan KPK, red) untuk menelusuri kerugian tersebut dan memproses hukum para terduga pelaku. Bukan sebaliknya melindungi para terduga pelaku pencurian uang negara dan daerah serta masyarakat,” kritik duo pegiat anti korupsi.

Sebenarnya terkait pelanggaran tersebut, lanjut mereka, BPK juga telah merekomendasikan 2 hal penting yakni, pertama, Dewan Komisaris dalam RUPS agar meminta Jajaran Direksi PT Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan kedua, Direktur Utama (Dirut) agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.

“Kami sangat kecewa dengan hasil RUPS Labuan Bajo 17 Maret 2022 yang terkesan ada “kerjasama“ yang sedemikian rapi dan menyatakan kerugian Rp 50 Milyar itu hal biasa dalam bisnis. Kami tidak terima kesimpulan RUPS yang menyatakan kerugian Rp 50 Miliar itu hal biasa. Ini penjabat jelas mengangkangi rakyat NTT yang dengan jerih payah menabung di Bank NTT, lalu para pengambil kebijakan (management, red) dengan tanpa beban menghamburkan uang senilai Rp 50 Miliar,” ungkap duo pegiat anti korupsi.

Roy dan Gab mengungkapkan, bahwa pihaknya dan sejumlah organisasi pegiat anti korupsi dalam waktu dekat akan melaporkan kasus ini ke KPK dan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran, jika Kejati NTT terus menerus diamkan kasus tersebut.

“Kami harus lapor ke KPK dan akan gelar demo masal di Bank NTT, jika Kajati NTT tidak segera tangkap Alex Riwu Kaho. Dan jika Pemegang Saham Pengendali dalam hal ini Gubernur NTT tidak segera copot Alex Riwu Kaho,” tegas duo aktivis anti korupsi tersebut. (SN.AT /tim)

Kategori
Opini

MTN Rp 50 Milyar Bank NTT Itu Kelalaian Disengaja, Bukan Risiko Bisnis

Oleh Yohanes Hegon Kelen Kedati

Ketua Gerakan Republik Anti Korupsi (GRAK)

Spiritnesia.Com, JAKARTA – Sejumlah media di NTT (:selatanindonesia.com, koranntt.com, katantt.com, lintasntt.com) sejak tanggal 17 dan 18 Maret 2022 dalam satu irama ‘kor’ memberitakan tentang hasil Keputusan RUPS Bank NTT Tahun 2022 bahwa pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT di PT. SNP merupakan Business Judgement Rules (BJR) atau resiko bisnis.

Mengutip pemberitaan media selatanindonesia.com dan sejumlah media lain (koranntt.com, katantt.com, lintasntt.com) “Para pemegang saham Bank NTT yang terdiri dari Gubernur dan Bupati/Walikota se Provinsi NTT bersepakat bahwa persoalan  Pembelian Medium Term Notes (MTN) atau Surat Hutang Jangka Menengah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) oleh Bank NTT merupakan resiko bisnis.

Kesepakatan itu terbangun dalam momentum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan Tahun 2021 dan RUPS Luar Biasa Tahun 2022 Bank NTT di Lingko Meeting Room, Sudamala Resort, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Kamis (17/3/ 2022).

Salah satu pemegang saham, Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore di arena RUPS mengatakan, dalam RUPS sebelum-sebelumnya ia yang mengangkat dalam forum RUPS bahwa persoalan MTN merupakan bagian dari resiko bisnis, bukan berdampak pada bagian dari kerugian negara. “Kita juga sudah mengetahui sebelumnya bahwa Bank NTT melalui MTN itu sudah memperoleh Rp 500 miliar lebih dan kerugian Rp 50 miliar itu merupakan resiko bisnis”

Pandangan Wali Kota Kupang dan Pemegang Saham terkait persoalan MTN Rp 50 Milyar Bank NTT sebagai resiko bisnis adalah sangat tidak tepat, karena seharusnya pandangan tersebut merujuk pada UNDANG-UNDANG Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PERSEROAN TERBATAS (PT) pada prinsipnya mengakomodir Business Judgement Rule sebagaimana diatur dalam Pasal 92 dan 97, yaitu sebagai berikut:

Pasal 92 ayat (1) dan (2):  

1. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.

Pasal 97:

Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

Anggota Direksi tidak dapat di mintai pertanggungjawabanya atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Apabila mencermati Pasal 92 dan Pasal 97 diatas, maka direksi tetap dapat dilindungi prinsip  Business Judgement Rule apabila kebijakan (keputusan) yang diambilnya dipandang tepat walaupun kemungkinan perseroan mengalami kerugian.

Fakta hukum pembelian MTN 50 M Bank NTT dikaitkan dengan resiko bisnis (Bussines Judgment Rule/BJR) dalam UU 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas adalah :

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 pada Halaman 30 secara jelas menyebutkan PT. Bank NTT menelaah atas usulan pembelian  MTN VI SNP tahap I Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Kasubdiv Domestik dan International dan Dealer yang disetujui oleh Kepala Divisi Treasury pada tanggal 06 Maret 2018;

Bahwa berdasarkan Fakta pertama ini maka ketentuan Pasal 97 ayat 5 UU 40 Tahun 2007 tentang BJR ini tidak dapat diterapkan karena perbuatan pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI melainkan KEPUTUSAN KEPALA DIVISI;

Bahwa Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore di arena RUPS mengatakan, dalam RUPS sebelum-sebelumnya ia yang mengangkat dalam forum RUPS bahwa persoalan MTN merupakan bagian dari resiko bisnis, bukan berdampak pada bagian dari kerugian negara   adalah tidak memiliki pijakan aturan yang kuat. Pembelian MTN 500 M oleh Bank NTT sangat terkait dengan kerugian Negara, karena uang Negara disertakan sebagai modal dan Terduga Pelaku (saat itu Aleks Riwu Kaho yang adalah Dirut Bank NTT saat ini, red) dalam peristiwa ini adalah BUKAN DIREKSI sehingga pembelian MTN tersebut adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI, kemudian unsur-unsur Kerugian Bisnis (BJR) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan tersebut sama sekali tidak terpenuhi sehingga tidak bisa diterapkan;

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :

1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;

2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;

3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;

4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;

5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;

6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.

Bahwa Terduga Pelaku sebagai kepala Divisi Treasury sesuai ketentuan internal bank NTT sama sekali tidak memiliki kewenangan memutuskan pembelian MTN 50 M tersebut. Oleh karena itu sudah sangat jelas dan terang benderang, bahwa ini adalah BUKAN MERUPAKAN KEPUTUSAN DIREKSI sehingga tidak relevan lagi dan tidak dapat diterapkan argumentasi Business Judgment Rule (BJR) tersebut.

Bahwa dalam fakta kedua ini berdasarkan temuan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut, maka sudah sangat jelas dan terang benderang pembelian MTN yang mengakibatkan kerugian Bank NTT tersebut dilakukan penuh dengan KELALAIAN DAN TIDAK HATI-HATI sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat 5 undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) SEHINGGA TIDAK BISA DITERAPKAN

Bahwa peristiwa hukum yang sama dengan subjek hukum yang berbeda yaitu pembelian MTN PT. SNP oleh Bank SUMUT telah dituntut oleh Kejaksaan Tinggi Medan atas nama terdakwa Maulana Akhyar Lubis (Kepala Divisi Treasury) dengan Tuntutan selama 19 tahun penjara dan kemudian divonis oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dengan putusan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana selama 10 tahun. Putusan Pengadilan Tipikor Medan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN;

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan: (1) bahwa sangat tidak tepat dan berlebihan jika kerugian Negara nantinya menjadi Business Judgment Rule (BJR), karena Terduga Pelaku dalam peristiwa ini adalah bukan Direksi dan pembelian MTN tersebut adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI. Kemudian unsur-unsur BJR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan tersebut sama sekali tidak terpenuhi sehingga tidak bisa diterapkan;

(2) bahwa benar saat ini Terduga Pelaku dalam peristiwa ini sedang menjabat Direksi tetapi harus diperhatikan bahwa TEMPUS DELICTI (waktu terjadinya tindak pidana) dalam peristiwa ini adalah saat Terduga Pelaku (Aleks Riwu Kaho, red) sedang menjabat sebagai Kepada Divisi Treasury sehingga kekhawatiran atas BJR tersebut tidak dapat diterapkan.

(3) Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan Majelis Hakim pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dan Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN sama sekali tidak ada mempertimbangkan terkait Business Judgment Rule (BJR) tersebut**

“Benang kusut” masalah Bank NTT masih ditambah lagi dengan kemunduran kepemimpinan yang telah meresahkan pegawai yaitu dugaan tidak dibayarnya Tunjangan Hari Raya (THR), Tunjungan sandang, Tunjangan Hari Ulang Tahun Bank NTT.

Menolak Lupa Target Laba Rp 500 Milyar
Laba bank NTT dua tahun terakhir yaitu tahun 2020 dan 2021 terus menurun jauh dari target capaian Rp 500 Milyar (tahun 2020 hanya Rp 236.289 M dan tahun 2021 lebih merosot lagi menjadi Rp 228.268 M). Lalu Hapus Buku Kredit dua tahun terakhir meningkat dan Kasus MTN tidak terselesaikan.

Dari sebab itu, publik NTT menolak lupa dan menagih janji komitmen laba Rp 500 Milyar bank NTT yang telah “makan korban” Izak Edward Rihi, Dirut yang belum satu tahun memimpin bank NTT kemudian diberhentikan karena tidak mencapai target laba tersebut. Dirut Bank NTT saat ini, Aleks Riwu Kaho saat ini sudah 2 Tahun buku (2020 dan 2021) hasil kerjanya pun tidak mencapai laba Rp 500 Milyar dan bahkan lebih rendah dari Tahun 2019.

Aleks Riwu Kaho bahkan diduga orang yang terlibat langsung dalam Pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT, tetapi dibiarkan memimpin Bank NTT, bahkan cenderung “dibela” oleh Pemegang Saham dalam kasus ini. Padahal kasusnya sudah terang benderang sesuai LHP BPK dan tidak memenuhi unsur BJR.

Sangat miris sekali, ditengah-tengah kemiskinan ekstrim yang tidak kunjung teratasi, masih saja uang rakyat dan negara yang ada di bank NTT diduga disalahgunakan sejumlah oknum dengan cara – cara yang melawan hukum. Anehnya, hal tersebut masih terus dibiarkan oleh para pemegang saham (RUPS).

Hanya dengan pertolongan Tuhan dan integritas tinggi, kita selamatkan uang rakyat dan Negara di bank NTT dari cara kerja yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi.

Jika tidak, maka bisnis dan politik akan berselingkuh. Ketika Bisnis dan Politik Berselingkuh, maka akan lahirlah anak haram berupa kemelaratan dan kemiskinan rakyat serta pegawai.(SN/tim)