Kategori
Berita Daerah

Polres Malaka Segera Pulbaket Kasus Dugaan Korupsi Rp 2,7 Milyar di Distan Malaka

Spiritnesia.com, Malaka – Kepolisian Resort (Polres) Malaka siap mengusut tuntas kasus dugaan korupsi senilai Rp 2,7 Milyar untuk pengadaan sarana prasarana pertanian berupa tracktor pada Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Pertanian (Distan) Kabupaten Malaka yang bersumber dari Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2021. Polres Malaka juga akan segera mengumpulkan barang bukti dan keterangan (Pulbaket) terkait kasus tersebut.

 

Demikian dikatakan Kapolres Malaka, AKBP Rudy Junus Jacob Ledo,S.H.,S.I.K, kepada tim media ini di ruang kerjanya di Betun pada Senin (01/08/2022).

 

“Masalah ini sudah jadi atensi Polres Malaka untuk ditelusuri. Tadi kita sudah minta kepada Unit Tipikor Polres Malaka melakukan penelusuran (pengumpulan barang bukti dan keterangan atau Pulbaket, red) terkait isu dugaan korupsi yang saat ini lagi viral di medsos,” ujarnya.

 

Menurutnya, Polres Malaka sangat merespon kasus dugaan korupsi senilai Rp 2,7 Milyar pada Distan Malaka, karena kasus tersebut berkaitan erat dengan kebutuhan dasar masyarakat yakni petani. Setelah melakukan Pulbaket, pihaknya akan menggelar perkara guna mengetahui duduk perkara kasus tersebut dan mengambil langkah-langkah penting untuk tindakan selanjutnya.

Seperti diberitakan sebelumnya (01/08/2022), Anggota DPRD Fraksi Partai Golkar Kabupaten Malaka, Raymundus Seran Klau dan Markus Baria meminta Aparat Penegak Hukum (APH) didesak segera mengusut tuntas Kasus Dugaan Korupsi di Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Malaka Terkait Pengolahan Lahan Pertanian Masyarakat Tahun 2021 Sebesar Rp 2,7 Miliyar.

“APH, baik KPK RI, Jaksa dan Polisi harus merespon dan mengusut kasus dugaan korupsi di Dinas Pertanian karena ada sejumlah alokasi dana operasional dan pemeliharaan alsintan dan kendaraan yang berpotensi dikorupsi dan disalahgunakan oleh Plt. Kadis Pertanian Malaka, VK bersama jajarannya,” ungkap Raymundus Seran Kalau.

Ia menjelaskan, sumber dana yang berpotensi dikorupsi seharusnya dialokasikan untuk Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan tahun 2021. Dana tersebut berasal dari Dana Transfer Umum – Dana Alokasi Umum (DAU) dengan keluaran sub kegiatan, terlaksananya pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan 100 persen dengan waktu pelaksanaan mulai bulan Januari sampai Desember 2021.

Anggota Dewan yang akrab disapa Mundus lebih lanjut memaparkan, sesuai Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Perangkat Daerah (DPPA SKPD ) Tahun Anggaran 2021 menyebutkan terdapat kegiatan Pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus diusut terdapat dalam Pos Anggaran Belanja Operasi sebesar Rp 2.699.303.260.

Dijelaskan, sesuai pos Belanja Operasi diuraikan, Kode Rekening 5.1.02 Belanja Barang dan Jasa Rp 2.669.309.260, dengan rincian Dalam kode rekening 5.1.02.1 Belanja Barang Rp 1.378.884.260, kode Rekening 5.1.02.01. 01 Belanja Barang Habis Pakai sebesar Rp 1.378.884.260.

Selanjutnya Mundus merincikan, dalam kode rekening 5.1.02.01.01.0004 diuraikan, untuk Belanja bahan bakar dan Pelumas sebesar Rp 824.999.100 dengan rincian Belanja Oli Roda, Oli Gardan, Oli Rotari sebesar Rp 36.480.000, Belanja Bahan Bakar Minyak/Gas Rp 726.000.000, Belanja Bahan Pelumas Rp 62.519.100; Belanja Bahan Pelumas Rp 62.519.100, Gemuk Rp 5.798.100, oli Mesin Sae Rp 19.425.000 dan Belanja oli mesin traktor sedang TR4 (Sedang) Rp 37.296. 000.

Di Pos Anggaran lainnya, lanjut Mundus, dalam Kode Rekening 51.02.01.01.0013 dengan uraian untuk Belanja Suku Cadang – Suku Cadang Alat Angkutan dengan total anggaran Rp 553.855.160 dengan rincian Belanja Jasa Teknisi Traktor Roda 4 Rp.7.500.000, Belanja Ring Seher Traktor Roda 4 Rp 27.000.000 dan Belanja Suku Cadang Traktor Roda 4 sebesar Rp 519.385.160.

Sementara itu dalam Kode Rekening 5.1.02.02.01.0026, lanjut Mundus, dialokasikan anggaran untuk Belanja Jasa Tenaga Administrasi (Honorarium) Operator Traktor Roda 4 sebesar Rp 1.098.000. 000. Honorarium Teknisi Traktor Roda 4 sebesar Rp 73.200.000.

Dalam Pos Perjalanan dinas sesuai Kode Rekening 5.1.02.04.01.0001, beber Mundus, dialokasikan dana Perjalanan Dinas Biasa Rp 149.225.000 dengan rincian Tiket Pesawat Rp 5.000.000 dan Monitoring Pengolahan Lahan Kering Rp 144.225.000; dengan demikian total anggaran Sub Kegiatan seluruhnya sebesar Rp 2.699.309.260.

Anggota DPRD Kabupaten Malaka dari Fraksi Partai Golkar lainnya, Markus Baria Berek kepada wartawan, juga meminta agar KPK, Jaksa dan Tipikor Kepolisian harus proaktif mengusut tuntas dugaan Korupsi di Dinas Pertanian Malaka Tahun 2021 karena berpotensi disalahgunakan Plt. Kadis Pertanian Malaka, Vinsen Kapu bersama jajarannya.

“Dalam pantauan kami di lapangan selama tahun 2021, Dinas Pertanian Kabupaten Malaka tidak melakukan aktifitas pengolahan lahan milik rakyat secara masif menggunakan anggaran-anggaran tersebut di atas,” ungkap Markus Baria Berek.

Menurutnya, pihaknya mengetahui bahwa traktor-traktor itu pada tahun 2021 dikeluarkan dari dinas ke masyarakat tidak memanfaatkan anggaran-anggaran tersebut. “Karena biaya operasional seperti pembelian BBM, biaya Sewa operator dibayar masyarakat pemilik lahan, bayar di muka sebelum tanah mereka diolah dan menurut informasi dikelola tim sukses pilkada,” beber Baria Berek.

Fakta lainnya, lanjut Baria Berek, dalam tahun 2021 ada anggaran Pemeliharaan/Perbaikan Traktor untuk Belanja Suku Cadang – Suku Cadang Alat Angkutan dengan total anggaran Rp 553.855.160. “Namun diduga disalahgunakan dan tidak dimanfaatkan untuk merawat atau memperbaiki traktor-traktor,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, dalam Rapat di DPRD tentang LKPJ Bupati Malaka 2021 dalam Paripurna DPRD, Pemandangan Umum Fraksi dan Rapat Komisi, para anggota Dewan sering mempertanyakan banyaknya traktor dan mesin serta alat pertanian milik pemerintah yang rusak.

“Juga diterlantarkan padahal ada pos anggaran untuk perbaikan dan pemeliharaan. Dari total 60 unit traktor milik dinas Pertanian Malaka hanya ada 23 unit yang masih baik dan bisa dimanfaatkan dan selebihnya rusak dan tercecer dimana-mana tanpa diurus,” beber Baria Berek.

Selain itu, lanjut Baris Berek, ada juga mesin dan alat pertanian seperti mesin combine untuk panen, exavator mini milik Dinas dan truk putih untuk operasional dinas serta traktor besar. “Diduga alsintan dan kendaraan tersebut direntalkan Dinas Pertanian kepada pihak ketiga (swasta) untuk cari uang dari rakyat,” ungkapnya.

Fakta -fakta tersebut, kata Baria Berek, menjadi atensi DPRD untuk membentuk Pansus guna menelusuri pemanfaatan aset-aset daerah tersebut. “Selain Pembentukan Pansus, Dugaan korupsi yang disampaikan ini, juga harus jadi atensi APH untuk mengusutnya secara tuntas agar ada efek jera dan pembelajaran bagi setiap dinas pengguna anggaran rakyat,” tegasnya.

Menurutnya, proses hukum terhadap dugaan korupsi tersebut menjadi ujian bagi APH di Kabupaten tersebut. “Karena di Malaka hanya bisa ungkap korupsi Dana Desa yang nilainya kecil-kecil tetapi untuk kerugian negara yang sifatnya besar terkesan APH tutup mata dan tiarap,” kritik Baria Berek. (SN/tim)

Kategori
Berita Daerah Ekonomi Kriminal

Kasus MTN Rp 50 Milyar Masuk Indikasi Tindakan Korupsi, Karena Tidak Prosedural

Kasus MTN Rp 50 Milyar Masuk Indikasi Tindakan Korupsi, Karena Tidak Prosedural

 

Spiritnesia com, Kupang – Komisi III DPRD NTT menilai pembelian medium term notes (MTN) Bank NTT Rp 50 Milyar Bank NTT dari PT. SNP tidak prosedural dan tidak prudent sehingga mengakibatkan adanya kerugian baik daerah maupun kerugian negara (mengingat modal bank NTT bersumber dari penyertaan APBD/APBN dan dana pihak ketiga atau masyarakat, red) dan itu dapat masuk dalam kategori indikasi tindakan korupsi.

 

Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPRD NTT, Dr. Ince Sayuna (yang mengutip pendapat Prof. Sucipto Raharjo tentang korupsi) ketika menanggapi penjelasan OJK NTT terkait MTN Rp 50 Milyar Bank NTT dalam Rapat Komisi III DPRD NTT bersama OJK Kantor Cabang NTT seusai Komisi III DPRD NTT bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) pada Senin (25/07/2022) di Kupang.

 

“Orang itu baru disebut korupsi bukan hanya karena dia makan uang. Tapi ketika dia salah membuat kebijakan, itu masuk dalam kategori korupsi. Kalau prosedurnya salah, tidak mungkin dia menghasilkan kebijakan yang legal. Karena jelas dalam temuan BPK (terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar, red) dan berdasarkan apa yang tadi bapak jelaskan (penjelasan Kepala OJK Kantor Cabang NTT, red), itu memang tidak prosedural pembelian MTN. Tidak ada SOP, tidak ada dalam RAB, maka itu kan bagian dari pelanggaran prosedural,” ujar Ince.

 

Menurutnya, OJK sebagai lembaga pengawas jasa perbankan seharusnya lebih sensisitif melihat indikasi-indikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi di Bank NTT. Karena OJK merupakan lembaga yang diberi wewenang konstitusi untuk mengawas pengunaan uang negara atau daerah. Apalagi OJK telah dua kali mendapat penghargaan dari KPK sebagai lembaga yang menerapkan standart tertinggi anti korupsi.

 

“Artinya kami percaya bahwa OJK masih melihat korupsi sebagai musuh bersama. Soal menentukan seseorang melakukan tindakan korupsi itu memang wewenang Aparat Penegak Hukum/APH, tetapi korupsi di negeri ini baru akan bisa hilang, kalau semua pihak baik itu Aparat Penegak Hukum (APH) maupun lembaga pengawas dan pemeriksa (BPK RI dan OJK, red) yang diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap penggunaaan keuangan negara itu bisa melihat korupsi sebagai musuh bersama.

 

Ince Sayuna sebagaimana temuan LHP BPK menegaskan, bahwa pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT tanpa prosedur di internal bank. “Sebagai lembaga yang diberi tugas pengawasan terhadap perbankan termasuk BPD NTT, bapak-bapak (OJK) lihat ada indikasi korupsi tidak? Karena jelas dalam temuan BPK dan berdasarkan apa yang tadi bapak (Kepala OJK NTT) jelaskan, itu memang tidak prosedural pembelian MTN. Tidak ada SOP, tidak ada dalam RAB, maka itu kan bagian dari pelanggaran prosedural,” tegasnya.

 

Ince Sayuna juga mempertanyakan sejauhmana OJK sebagai lembaga yang mengawasi bank NTT mengikuti dan menindaklanjuti temuan MTN Rp 50 Milyar ke pusat kalau memang ini kewenangan OJK pusat? Dan sejauh mana koordinasi OJK Cabang NTT dengan OJK pusat dan atau dengan APH untuk memeriksa bank NTT terkait kasus pembelian MTN Rp 50.

 

“Karena bapak -bapak dapat penghargaan dari KPK soal pemberantasan korupsi. Harusnya lebih sensitif melihat indikasi -indikasi korupsi yang ada di perbankan (di Bank NTT, red),” tegasnya lagi.

 

Sementara itu, Kepala OJK NTT dalam kesempatan tersebut mengakui adanya kesalahan prosedur dalam pembelian MTN bank NTT sebagaimana temuan LHP BPK. Terkait itu, OJK juga telah melakukan langkah pembinaan dan perbaikan prosedur terhadap Bank NTT, agar ke depan tidak terjadi kesalahan yang sama.

 

“Kami pastikan bahwa sampai hari ini kami melakukan pengawasan terkait penempatan dana ke pihak ketiga bukan Bank. Berdasarkan pengalaman ini, kami berusaha melakukan pengawasan perbaikan prosedur-prosedur, sehingga ke depan tidak lagi terjadi proses yang menyimpang,” jelas salah satu staff OJK dalam rapat tersebut.

 

Namun terkait siapa yang harus bertanggungjawab terkait kerugian akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar tersebut, OJK mengatakan tidak berwewenang menjawab hal tersebut, karena yang punya wewenang menjawab yaitu BPK.

 

Sebelumnya dalam rapat Komisi III DPRD NTT bersama BPK Cabang NTT pukul 13.00 Wita (25/07), Kepala BPK Kantor Cabang NTT, Adi Sudibyo mengakui sebagaimana temuan LHP BPK, bahwa Bank NTT tidak due diligence dan tidak punya SOP internal terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar

 

“Kita lihat ini murni kesalahan operasional. Bank NTT sebagai BUMD dia berupaya cari untung, tapi BPK tidak tahu proses bisnisnya seperti apa (prosedur) sehingga terjadi kerugian seperti ini. Bank NTT tidak punya SOP jelas sehingga pembelian MTN tidak prudent. SOP disusun bank NTT baru setelah pemeriksaan dari BPK. Karena dia tidak punya SOP dan tanpa diketahui Direksi, maka itu tidak bisa dikatakan resiko bisnis,” tegas Adi Sudibyo.

 

Namun menurut Adi Sudibyo, terkait apakah kasus MTN itu masuk dalam kerugian negara atau kerugian usaha, Adi Sudibyo menjawab hanya bisa katakan itu kerugian Badan Usaha.

 

“Kami tidak bisa katakan itu kerugian negara, tetapi kerugian badan usaha, karena yang menentukan kerugian negara itu ranah penegak hukum. Kami katakan berpotensi merugikan bank NTT, tetapi tidak katakan berpotensi merugikan negara. Karena dalam konteks bank NTT, keputusan investasi (pembelian MTN dari PT. SNP, red) itu kebijakan dewan direksi,” ujarnya.

 

Lalu mengapa BPK tidak menjadikan temuannya (berdasarkan LHP BPK) tentang kesalahan prosedur dalam pembelian MTN sebagai referensi laporan ke APH adanya Indikasi tindakan korupsi? Adi Sudibyo menjawab Itu wewenang BPK pusat untuk melaporkannya ke BPK. “Pemeriksaan LHP BPK bank NTT sudah diserahkan ke pusat. Hanya pusat yang belum tindaklanjuti serahkan LHP ke APH untuk tindaklanjuti,” ungkapnya.

 

Rapat Komisi III DPRD NTT bersama OJK Kantor Cabang NTT dihadiri Kepala Cabang OJK NTT. Sebelumnya, Komisi III DPRD NTT dihadiri Kepala BPK Kantor Cabang NTT, Adi Sudibyo dan sejumlah staf.

 

Rapat dipompin Ketua Komisi III DPRD NTT, Yonas Salean, hadiri Ketua DPRD NTT, Emi Nomleni, Wakil Ketua DPRD NTT, Ince Sayuna, dan sejumlah Anggota Komisi III DPRD NTT yakni Hugo Kalembu, Viktor Madonna Watun, Adoe Yuliana Elisabeth, S.Sos (PDIP), Inosensius Fredy Mui, ST (Nasdem), Klara Motu Loi, SH (PKB), Yohanes Halut, S.TP (Gerindra), Rocky Winaryo, SH (Perindo), Agustinus Lobo, SE (PAN), Paulinus Yohanes Nuwa Veto. (tim)

Kategori
Berita

Pegiat Anti Korupsi Minta Kejati NTT Segera Proses Hukum Aleks Riwu Kaho Terkait Kasus MTN Rp 50 Milyar

Sritnesia.Com, JAKARTA – Pegiat Anti Korupsi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk segera mennagkap dan menahan serta memproses hukum mantan Kepala Divisi (Kadiv) Treasury Bank NTT, Aleks Riwu Kaho (saat ini Dirut Bank NTT, red), karena dinilai bertanggung jawab atas kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP. Aleks Riwu Kaho selalu Kepala Divisi Treasury bank NTT (saat itu, red) diduga sengaja bahkan lalai dengan menandatangani (menyetujui, red) pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP yang merugikan keuangan negara dan daerah serta keuangan masyarakat NTT.

Demikian disampaikan Ketua AMMAN FLOBAMORA, Roy Watu Pati dan Ketua Kompak Indonesia, Gabrial Goa dalam rilis tertulis kepada tim media ini, pada Senin (21/03/2022).

“Kami minta Kejati NTT untuk abaikan keputusan para pemegang saham dalam hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT Tahun 2022 di Labuan Bajo kali lalu, bahwa kasus kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar di PT. SNP sebagai risiko bisnis. Kami minta Kejati tangkap dan tahan serta proses hukum Aleks Riwu Kaho. Keputusan RUPS (terkait MTN Rp 50 Milyar sebagai business judgement rules, red) kemarin terkesan hanya trik untuk melindungi terduga pencuri uang negara dan daerah serta rakyat dari jeratan hukum,” tulis duo pegiat anti korupsi.

Menurut Roy Watu Pati dan Gabrial Goa, kasus kerugian bank NTT melalui pembelian MTN Rp 50 Milyar merupakan tindakan kejahatan perbankan yakni perampokan uang negara dan daerah serta masyarakat NTT, yang diduga dilakukan dengan sengaja oleh sejumlah orang dengan tujuan memperkaya diri atau sekelompok orang.

“Dan itu bukanlah risiko bisnis. Kalau itu risiko bisnis, maka tidak mungkin ia menjadi temuan BPK. Dengan demikian, jika ada indikasi temuan pelanggaran yang merugikan perekonomian negara dan daerah, maka semua pihak harus menghormati dan wajib menindaklanjuti LHP BPK tersebut,” jelasnya.

Kedua pegiat anti korupsi itu menegaskan, bahwa masalah MTN Rp 50 Milyar itu dikatakan resiko bisnis hanya apabila pembelian MTN Rp 50 M itu melalui suatu proses atau mekanisme yang baik dan yang ada di bank NTT. Faktanya, proses pembelian MTN itu tidak demikian. Pembelian MTN tersebut diduga hanya inisiatif dan keputusan beberapa oknum tertentu saja dan tidak diketahui serta tidak disetujui hirarki yang lebih tinggi di bank NTT.

“Dewan Direksi tidak tahu, hanya Kadiv Treasury (saat itu dijabat Aleks Riwu Kaho, red) dan Dirum Keuangan Bank NTT (yang saat itu dijabat Edu Bria Seran, red) yang tahu. Lalu bagaimana bisa dikatakan risiko bisnis. Jangan drama-drama lah dengan uang milik banyak pihak di bank NTT,” pinta keduanya.

Roy dan Gab lanjut membeberkan pelanggaran lain terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020, diantaranya yaitu:
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;
4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;
5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;
6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.

“Dasar ini seharusnya sudah menjadi dasar kuat dan cukup bagi para pemegang saham untuk merekomendasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Kejati NTT dan KPK, red) untuk menelusuri kerugian tersebut dan memproses hukum para terduga pelaku. Bukan sebaliknya melindungi para terduga pelaku pencurian uang negara dan daerah serta masyarakat,” kritik duo pegiat anti korupsi.

Sebenarnya terkait pelanggaran tersebut, lanjut mereka, BPK juga telah merekomendasikan 2 hal penting yakni, pertama, Dewan Komisaris dalam RUPS agar meminta Jajaran Direksi PT Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan kedua, Direktur Utama (Dirut) agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.

“Kami sangat kecewa dengan hasil RUPS Labuan Bajo 17 Maret 2022 yang terkesan ada “kerjasama“ yang sedemikian rapi dan menyatakan kerugian Rp 50 Milyar itu hal biasa dalam bisnis. Kami tidak terima kesimpulan RUPS yang menyatakan kerugian Rp 50 Miliar itu hal biasa. Ini penjabat jelas mengangkangi rakyat NTT yang dengan jerih payah menabung di Bank NTT, lalu para pengambil kebijakan (management, red) dengan tanpa beban menghamburkan uang senilai Rp 50 Miliar,” ungkap duo pegiat anti korupsi.

Roy dan Gab mengungkapkan, bahwa pihaknya dan sejumlah organisasi pegiat anti korupsi dalam waktu dekat akan melaporkan kasus ini ke KPK dan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran, jika Kejati NTT terus menerus diamkan kasus tersebut.

“Kami harus lapor ke KPK dan akan gelar demo masal di Bank NTT, jika Kajati NTT tidak segera tangkap Alex Riwu Kaho. Dan jika Pemegang Saham Pengendali dalam hal ini Gubernur NTT tidak segera copot Alex Riwu Kaho,” tegas duo aktivis anti korupsi tersebut. (SN.AT /tim)

Kategori
Opini

MTN Rp 50 Milyar Bank NTT Itu Kelalaian Disengaja, Bukan Risiko Bisnis

Oleh Yohanes Hegon Kelen Kedati

Ketua Gerakan Republik Anti Korupsi (GRAK)

Spiritnesia.Com, JAKARTA – Sejumlah media di NTT (:selatanindonesia.com, koranntt.com, katantt.com, lintasntt.com) sejak tanggal 17 dan 18 Maret 2022 dalam satu irama ‘kor’ memberitakan tentang hasil Keputusan RUPS Bank NTT Tahun 2022 bahwa pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT di PT. SNP merupakan Business Judgement Rules (BJR) atau resiko bisnis.

Mengutip pemberitaan media selatanindonesia.com dan sejumlah media lain (koranntt.com, katantt.com, lintasntt.com) “Para pemegang saham Bank NTT yang terdiri dari Gubernur dan Bupati/Walikota se Provinsi NTT bersepakat bahwa persoalan  Pembelian Medium Term Notes (MTN) atau Surat Hutang Jangka Menengah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) oleh Bank NTT merupakan resiko bisnis.

Kesepakatan itu terbangun dalam momentum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan Tahun 2021 dan RUPS Luar Biasa Tahun 2022 Bank NTT di Lingko Meeting Room, Sudamala Resort, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Kamis (17/3/ 2022).

Salah satu pemegang saham, Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore di arena RUPS mengatakan, dalam RUPS sebelum-sebelumnya ia yang mengangkat dalam forum RUPS bahwa persoalan MTN merupakan bagian dari resiko bisnis, bukan berdampak pada bagian dari kerugian negara. “Kita juga sudah mengetahui sebelumnya bahwa Bank NTT melalui MTN itu sudah memperoleh Rp 500 miliar lebih dan kerugian Rp 50 miliar itu merupakan resiko bisnis”

Pandangan Wali Kota Kupang dan Pemegang Saham terkait persoalan MTN Rp 50 Milyar Bank NTT sebagai resiko bisnis adalah sangat tidak tepat, karena seharusnya pandangan tersebut merujuk pada UNDANG-UNDANG Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PERSEROAN TERBATAS (PT) pada prinsipnya mengakomodir Business Judgement Rule sebagaimana diatur dalam Pasal 92 dan 97, yaitu sebagai berikut:

Pasal 92 ayat (1) dan (2):  

1. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.

Pasal 97:

Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

Anggota Direksi tidak dapat di mintai pertanggungjawabanya atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Apabila mencermati Pasal 92 dan Pasal 97 diatas, maka direksi tetap dapat dilindungi prinsip  Business Judgement Rule apabila kebijakan (keputusan) yang diambilnya dipandang tepat walaupun kemungkinan perseroan mengalami kerugian.

Fakta hukum pembelian MTN 50 M Bank NTT dikaitkan dengan resiko bisnis (Bussines Judgment Rule/BJR) dalam UU 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas adalah :

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 pada Halaman 30 secara jelas menyebutkan PT. Bank NTT menelaah atas usulan pembelian  MTN VI SNP tahap I Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Kasubdiv Domestik dan International dan Dealer yang disetujui oleh Kepala Divisi Treasury pada tanggal 06 Maret 2018;

Bahwa berdasarkan Fakta pertama ini maka ketentuan Pasal 97 ayat 5 UU 40 Tahun 2007 tentang BJR ini tidak dapat diterapkan karena perbuatan pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI melainkan KEPUTUSAN KEPALA DIVISI;

Bahwa Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore di arena RUPS mengatakan, dalam RUPS sebelum-sebelumnya ia yang mengangkat dalam forum RUPS bahwa persoalan MTN merupakan bagian dari resiko bisnis, bukan berdampak pada bagian dari kerugian negara   adalah tidak memiliki pijakan aturan yang kuat. Pembelian MTN 500 M oleh Bank NTT sangat terkait dengan kerugian Negara, karena uang Negara disertakan sebagai modal dan Terduga Pelaku (saat itu Aleks Riwu Kaho yang adalah Dirut Bank NTT saat ini, red) dalam peristiwa ini adalah BUKAN DIREKSI sehingga pembelian MTN tersebut adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI, kemudian unsur-unsur Kerugian Bisnis (BJR) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan tersebut sama sekali tidak terpenuhi sehingga tidak bisa diterapkan;

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :

1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;

2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;

3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;

4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;

5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;

6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.

Bahwa Terduga Pelaku sebagai kepala Divisi Treasury sesuai ketentuan internal bank NTT sama sekali tidak memiliki kewenangan memutuskan pembelian MTN 50 M tersebut. Oleh karena itu sudah sangat jelas dan terang benderang, bahwa ini adalah BUKAN MERUPAKAN KEPUTUSAN DIREKSI sehingga tidak relevan lagi dan tidak dapat diterapkan argumentasi Business Judgment Rule (BJR) tersebut.

Bahwa dalam fakta kedua ini berdasarkan temuan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut, maka sudah sangat jelas dan terang benderang pembelian MTN yang mengakibatkan kerugian Bank NTT tersebut dilakukan penuh dengan KELALAIAN DAN TIDAK HATI-HATI sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat 5 undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) SEHINGGA TIDAK BISA DITERAPKAN

Bahwa peristiwa hukum yang sama dengan subjek hukum yang berbeda yaitu pembelian MTN PT. SNP oleh Bank SUMUT telah dituntut oleh Kejaksaan Tinggi Medan atas nama terdakwa Maulana Akhyar Lubis (Kepala Divisi Treasury) dengan Tuntutan selama 19 tahun penjara dan kemudian divonis oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dengan putusan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana selama 10 tahun. Putusan Pengadilan Tipikor Medan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN;

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan: (1) bahwa sangat tidak tepat dan berlebihan jika kerugian Negara nantinya menjadi Business Judgment Rule (BJR), karena Terduga Pelaku dalam peristiwa ini adalah bukan Direksi dan pembelian MTN tersebut adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI. Kemudian unsur-unsur BJR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan tersebut sama sekali tidak terpenuhi sehingga tidak bisa diterapkan;

(2) bahwa benar saat ini Terduga Pelaku dalam peristiwa ini sedang menjabat Direksi tetapi harus diperhatikan bahwa TEMPUS DELICTI (waktu terjadinya tindak pidana) dalam peristiwa ini adalah saat Terduga Pelaku (Aleks Riwu Kaho, red) sedang menjabat sebagai Kepada Divisi Treasury sehingga kekhawatiran atas BJR tersebut tidak dapat diterapkan.

(3) Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan Majelis Hakim pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dan Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN sama sekali tidak ada mempertimbangkan terkait Business Judgment Rule (BJR) tersebut**

“Benang kusut” masalah Bank NTT masih ditambah lagi dengan kemunduran kepemimpinan yang telah meresahkan pegawai yaitu dugaan tidak dibayarnya Tunjangan Hari Raya (THR), Tunjungan sandang, Tunjangan Hari Ulang Tahun Bank NTT.

Menolak Lupa Target Laba Rp 500 Milyar
Laba bank NTT dua tahun terakhir yaitu tahun 2020 dan 2021 terus menurun jauh dari target capaian Rp 500 Milyar (tahun 2020 hanya Rp 236.289 M dan tahun 2021 lebih merosot lagi menjadi Rp 228.268 M). Lalu Hapus Buku Kredit dua tahun terakhir meningkat dan Kasus MTN tidak terselesaikan.

Dari sebab itu, publik NTT menolak lupa dan menagih janji komitmen laba Rp 500 Milyar bank NTT yang telah “makan korban” Izak Edward Rihi, Dirut yang belum satu tahun memimpin bank NTT kemudian diberhentikan karena tidak mencapai target laba tersebut. Dirut Bank NTT saat ini, Aleks Riwu Kaho saat ini sudah 2 Tahun buku (2020 dan 2021) hasil kerjanya pun tidak mencapai laba Rp 500 Milyar dan bahkan lebih rendah dari Tahun 2019.

Aleks Riwu Kaho bahkan diduga orang yang terlibat langsung dalam Pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT, tetapi dibiarkan memimpin Bank NTT, bahkan cenderung “dibela” oleh Pemegang Saham dalam kasus ini. Padahal kasusnya sudah terang benderang sesuai LHP BPK dan tidak memenuhi unsur BJR.

Sangat miris sekali, ditengah-tengah kemiskinan ekstrim yang tidak kunjung teratasi, masih saja uang rakyat dan negara yang ada di bank NTT diduga disalahgunakan sejumlah oknum dengan cara – cara yang melawan hukum. Anehnya, hal tersebut masih terus dibiarkan oleh para pemegang saham (RUPS).

Hanya dengan pertolongan Tuhan dan integritas tinggi, kita selamatkan uang rakyat dan Negara di bank NTT dari cara kerja yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi.

Jika tidak, maka bisnis dan politik akan berselingkuh. Ketika Bisnis dan Politik Berselingkuh, maka akan lahirlah anak haram berupa kemelaratan dan kemiskinan rakyat serta pegawai.(SN/tim)