Kategori
Berita Daerah

Pegiat Anti Korupsi Pertanyakan Kinerja OJK dan Kejati NTT Terkait Kasus MTN Rp 50 M Bank NTT

Spiritnesia.Com, Jakarta – Pegiat Anti Korupsi yang tergabung dalam organisasi Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN Flobamora) dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (KOMPAK Indonesia) mempertanyakan kinerja lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dinilai gagal mengawasi aktifitas bisnis perbankan Bank NTT, dalam pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP dengan cupoun rate 10% atau senilai Rp 10,5 Milyar, yang menyebabkan total kerugiaan negara dan daerah senilai Rp 60,5 Milyar. Pegiat anti korupsi juga mempertanyakan kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT dalam penanganan kasus tersebut yang hingga hari ini tanpa hasil.

Demikian disampaikan Ketua AMMAN Flobamora, Roy Watu Pati dan Ketua GRAK, Gabrial Goa dalam rilis tertulis yang diterima tim media ini pada Sabtu (23/04/2022) terkait kasus gagal bayar MTN Rp 50 Milyar oleh PT. SNP kepada Bank NTT.

“Sebagai masyarakat NTT yang peduli pembangunan bumi Flobamora, patut kita menggugat kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas bisnis perbankan Bank Daerah tersebut yang kecolongan bahkan kita nilai gagal mengawasi dugaan praktek korupsi dalam proses pembelian MTN Rp 50 Milyar itu. OJK bahkan bersikap masa bodoh terhadap dugaan adanya keterlibatan sejumlah oknum dalam kasus tersebut yang hingga saat ini masih bercokol ditampuk kepemimpinan bank NTT. Lalu Aparat Penegak Hukum/APH, khususnya Kejati NTT yang menangani  kasus tersebut juga seakan ‘macan ompong’ tanpa power untuk mengusut oknum yang diduga bertanggungjawab atas kasus tersebut,” tulis duo aktifis anti korupsi itu.

Menurut Roy dan Gab,  jika mempelajari kronologi pembelian surat hutang tersebut secara teliti, publik akan menemukan secara jelas, bahwa pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT dari PT. SNP terdapat pelanggaran paling fundamental untuk sebuah proses investasi yaitu tidak adanya uji kelayakan investasi sebelum melakukan investasi. Padahal, uji kelayakan sangat berguna agar Managemen Bank mengetahui bagaimana kemampuan calon debiturnya dan bank mesti memiliki keyakinan berdasarkan hasil penilaian terhadap debiturnya atau yang di kenal dengan istilah due dilligence.

“Bagaimana bisa pembelian MTN bernilai fantastis yakni Rp 50 M tidak memiliki studi kelayakan atau due diligence . Halo OJK & APH (Kejati NTT, red) bagaimana pendapatmu? Bank NTT juga tidak melakukan checking apakah PT. SNP memiliki pinjaman pada bank lain atau tidak? Sebagai pembanding, untuk memberikan kredit kepada ASN yang gajinya sudah pasti melalui bank NTT saja, wajib dilakukan checking apakah calon debitur memiliki pinjaman pada bank lain atau tidak yang dikenal dengan istilah SLIK (Sistim Layanan Informasi Keuangan). Adalah fakta bahwa PT. SNP memiliki rekening pinjaman pada bank lain tidak terendus. Ini kelalaian atau kesengajaan? Halo OJK & APH tolong ini dicheck ke bank NTT, apakah ini taat aturan atau tidak?” kritiknya.

Duo pegiat anti korupsi itu juga menjelaskan, pembelian MTN Rp 50 Milyar merupakan aktifitas investasi yang diduga tanpa dasar kebijakan tertulis sebagai instrumen investasi. Yang dimiliki bank NTT (saat itu atau saat pembelian MTN Rp 50 M, red) adalah kebijakan Penempatan Uang Antar Bank (PUAB). Bank NTT kala itu  juga belum memiliki kebijakan penempatan uang pada bank. PT. SNP pun bukan lembaga keuangan bank. Pertanyaannya, bagaimana mungkin bank NTT bisa nekat melakukan investasi yang belum didukung dengan kebijakan internalnya sendiri?

“Halo OJK & Kejati NTT dimana kalian? Pembelian MTN itu tidak masuk dalam rencana bisnis bank, padahal  OJK mewajibkannya melalui POJK Nomor 5 /POJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis Bank Bab II tentang cakupan rencana bisnis pasal 11 Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f paling sedikit meliputi: 1)Rencana penghimpunan dana pihak ketiga; 2)Rencana penerbitan surat berharga; 3)Rencana pendanaan lainnya,” kritiknya lagi.

Menurut Gab dan Roy, pelanggaran yang lain terkait proses pembelian MTN Rp 50 Milyar yaitu PT. Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk   mengetahui   alamat   kantor   dan   mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT. SNP baru terjadi setelah PT. SNP mengalami permasalahan gagal bayar. “Halo OJK dan Kejati NTT mengapa ini dibiarkan? Halo OJK dan Kejati NTT apakah bank boleh demikian?” ujar Roy dan Gab.

Berikut, kata Roy dan Gab, PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak pembelian MTN. “Hallo Kejati NTT dan OJK, dimana kalian ketika melihat audit BPK yang terang benderang seperti ini?” tanya mereka.

Berikut para pegiat anti korupsi itu menguraikan kronologi penerbitan MTN yang berujung macet alias gagal bayar.
1)Tanggal 22 Maret tahun 2018 , Bank NTT melakukan penempatan dana dalam bentuk pembelian Medium Term Note (MTN) / surat berharga jangka pendek dari PT. SNP (Sunprima Nusantara Pembiayaan). Penempatan dana non bank yang dilaksanakan oleh PT Bank NTT pada tahun 2018 dalam bentuk pembelian MTN senilai Rp 50 miliar, dengan coupon rate 10,55% selama 2 tahun dengan rincian sebagai berikut:

2)Tanggal 02 Mei 2018 , PT. SNP Finance mengajukan permohonan pailit , melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikabulkan oleh PN Jakpus pada tanggal 4 Mei 2018.

3)Pada tanggal 23 Mei 2018, bank NTT menunjuk Advokat dan konsultan hukum pada kantor ANC & Co. advocate & solicitor sesuai dengan surat kuasa Nomor 19/DIR/VI/2018 untuk mewakili dan atau mendampingi dan mengambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana maupun perdata dalam kasus PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Piutang) PT SNP.

4)Tanggal 31 Oktober 2018, PT. Bank NTT melakukan proses hapus buku MTN dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) MTN Rp 7,62 miliar.

5)Tanggal 21 Desember 2018, selanjutnya mengajukan surat persetujuan SOP Hapus Buku Surat Berharga kepada Dewan Komisaris PT Bank NTT dengan surat Direktur Pemasaran Dana nomor 605/DIR-DTs/XII/2018 .

6)Tanggal 26 Desember 2018 , Komisaris Utama melalui surat nomor 134/DK Bank NTT/XII/2018 menyetujui permohonan SOP Hapus buku yang di ajukan oleh Direktur Pemasaran Dana .

7)Tanggal 28 Desember 2018, Divisi treasury PT. Bank NTT mengusulkan penghapusbukuan Surat Berharga MTN PT. SNP dengan membentuk CKPN kedua senilai Rp42.372.533.584,00.

8)Tanggal 31 Desember 2018 ,Direksi PT. Bank NTT menyetuji usulan Penghapus bukuan tersebut dengan Surat Keputusan nomor 147 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Penghapus Bukuan Surat berharga Tahun Buku 2018 atas MTN PT. SNP senilai Rp50 miliar.

9)Tanggal 4 Januari 2020  BPK Melakukan audit pada Bank NTT. Salah satunya BPK merekomendasika kepada:
a)Dewan  Komisaris  dalam  RUPS  agar  meminta  Jajaran  Direksi  PT. Bank  NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT. SNP senilai Rp 50.000.000.000,00, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan
b)Direktur Utama agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence. (SN/tim).

Kategori
Berita Daerah

Lelet Proses Hukum Hironimus Taolin, Kejati NTT Diduga Bersikap Kompromistis

Spiritnesia.Com, KEFAMENANU – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (HT) dinilai bahkan diduga kompromistis dengan tekanan pihak tertentu (baik politik maupun daya lain kekuasaan, red) yang bertujuan memperlambat proses pemeriksaan terhadap Direktur PT. Sari Karya Mandiri (SKM), Hironimus Taoilin (HT) terkait kasus dugaan korupsi akibat monopoli sejumlah proyek pengerjaan jalan pada tiga Kabupaten di NTT (proyek jalan Kapan-Nenas di Kabupaten TTS senilai Rp 18,6 Milyar, proyek jalan Kefa-Eban di Kabupaten TTU senilai Rp 20 Milyar dan proyek lain di Kabupaten Belu). Alasanya, kasus HT sudah naik status dari penyelidikan ke penyidikan, tetapi kelanjutan penanganan kasus tersebut terkesan lelet dan bahkan didiamkan.

Demikian pernyataan Ketua Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi (CW) dalam rilis tertulis yang diterima tim media ini pada Jumat (22/01/2022), menanggapi progres pemeriksaan lanjutan Direktur PT. SKM terkait kasus dugaan korupsi tersebut.

“Kita minta Jaksa peyidik Kejaksaan Tinggi NTT tidak boleh layu lagi dalam proses penegakan hukum atas Direktur PT Sari Karya Mandiri, Hironinus Taolin (HT) dalam kasus korupsi sejumlah projek pada 3 kabupaten bernilai belasan milyar itu. Sekarang sudah tanggal 22 April 2022, sudah molor lagi pemeriksaan lanjutan atas HT oleh Kejati NTT dari jadwal sebelumnya akan diperiksa pada tanggal 18 April 2022. Ada alasan apa lagi ini? Mengapa penangnanan kasus ini, kejaksaan (Kejati NTT, red) seakan begitu kompromistis dengan Dikretur PT. Sari Karya Mandiri ini?” tulisnya.

Viktor Manbait juga meminta Kejati NTT tidak lemah menghadapi sikap HT yang terkesan hanya ‘drama’ atau sandiwara untuk memperlambat proses pemeriksaan penyidik Kejati NTT. Sebaliknya Kejati harus tegas dan memastikan penanganan kasus tersebut progresif dan lancar hingga ada penetapan tersangka.

“Kita tegaskan ke Kejaksaan Tinggi NTT agar tidak ‘pilih bulu’ dalam penegakan hukum kasus dugaan korupsi (Dirut PT.SKM, HT, red) yang telah dinaikan statusnya ke tingkat penyidikan itu, agar penyidik Kejati NTT memperhatikan dengan sungguh asas peradilan yang bebas, cepat dan biaya ringan benar-benar diterapkan. Kasus ini yang pada tahap penyelidikan ditangani dengan cepat dan dinaikan statusnya menjadi penyidikan justru tersendat sendat penanganannya,” tulisnya.

Ketua Lakmas itu juga mengingatkan Kejati NTT agar tetap independen dan tanpa pengaruh atau tekanan kekuatan baik politik maupun daya lain yang menghambat proses penanganan kasus tersebut. “Kajaksan harus independen dan tegas. Tidak boleh tunduk pada kekuatan manapun selain tunduk dan melaksanakan perintah hukum sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagai penegak hukum dan keadilan,” tegasnya.

Sebelumnya pada Kamis (21/04) pukul 10.21 Wita, Kajati NTT, Hutama Wisnu, S.H.,MH yang dikonfirmasi tim media ini via pesan WhatsApp/WA melalui Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H.,MH terkait kepastian lanjutan pemeriksaan lanjutan HT menegaskan, bahwa HT telah menjalani pemeriksaan lanjutan pada tanggal 18 April 2022 lalu. “Informasinya, HT datang kemarin utk (untuk) diperiksa sebagai saksi,” tulisnya.

Namun ditanyai lebih lanjut terkait informasi hasil pemeriksaan terhadap HT, Abdul Hakim bungkam alias diam seribu bahasa. (SN/tim)

Kategori
Berita Daerah

Proses Kasus MTN Rp 50 M Bank NTT, Kejati Tunggu Penelusuran Aliran Dana oleh PPATK

Spiritnesia.Com, KUPANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini masih menunggu laporan hasil penyelidikan/penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang aliran transaksi keuangan terkait kasus kerugian keuangan negara/daerah akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT pada PT. SNP.

Demikian penjelasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Hutama Wisnu, S.H.,MH melalui Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H., MH saat ditemui tim media pada pekan lalu (30/03/2022).

“Mengenai MTN itu sampai sekarang masih menunggu laporan dari PPATK. Itu kalau tidak salah sekitar 16 rekening yang disuruh lacak. Yang sudah keluar cuma 6 atau 7 rekening. Pokoknya di bawah 10 lah. Nah ini yang sementara PPATK bekerja karena 1 rekening itu bisa makan waktu berapa lama,” ungkapnya.

Menurutnya, lambatnya proses penanganan kasus MTN Rp 50 Milyar oleh Kejati NTT karena penelusuran atau pelacakan sejumlah rekening yang diduga merupakan arah aliran uang pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT membutuhkan waktu yang lama. “Hambatan selama ini di PPATK karena buku rekening itu masih dianalisis, mau 5 huruf pun tercatat itu, nah itu dilihat semua,” tegasnya.

Abdul juga mengungkapkan, bahwa kasus MTN Rp 50 Milyar sudah diexpos (gelar perkara, red) diinternal Kejati NTT sebelum Kajati lama (Dr. Yulianto, S.H.,MH) pindah atau meninggalkan NTT.

“Expos interen saja untuk menentukan bagaimana kasus ini (MTN Rp 50 Milyar, red) apa masih mau dilanjut lagi atau stop? Disampaikan hambatan-hambatannya. Ya pasti lanjut terus. Tapi kalau keputusan lanjut, bagaimana?” tandasnya.

Menurutnya, Kejati NTT masih mendalami untuk memastikan apakah kasus MTN Rp 50 Milyar masuk pidana perbankan ataukah pidana khusus (korupsi/kerugian negara, red). “Bahwa ini susah pembuktiannya, atau mungkin ada tersangkut dengan perkara pidana lain bukan pidana khusus, kan bisa saja. Undang-undang perbankan ada. Beda tipis kaya penipuan dan penggelapan ini,” jelasnya.

Abdul Hakim mengakui, bahwa kemungkinan kasus MTN Rp 50 Milyar masuk dalam kerugian keuangan negara, tetapi juga butuh disertai bukti-bukti yang kuat dan akurat. “Betul kerugian negara, tapi kita kan nggak tahu resiko bisnisnya berapa? Platform bank Rp 100 Milyar? Rp 200 Milyar? Rp 50 Milyar? atau Rp 10 Milyar aja? Resiko bisnisnya. Karena jangan sampai oke terbukti (kerugian keuangan negara, red), tetapi jika tidak terbukti di Mahkamah Agung? Maka itu kita cek, gitu aja,” katanya.

Ia menjelaskan, bahwa jika kasus MTN Rp 50 Milyar jatuh pada pidana perbankan, maka ranah penyelesaiannya oleh Polri bukan Kejaksaan. “Ada aturannya nggak yang dia langgar? Kalau tidak ada aturannya berarti urusan Polri. Bisa saja ke undang-undang perbankan, masalah kerugiannya dikembalikan ke Negara. Kalau bukan aturan perbankan yang dia langgar, itu bisa langsung cepat sekali sudah (ditangani Kejati NTT, red),” tegasnya.

Abdul Hakim mengungkapkan, bahwa Kejati NTT sangat berhati-hati menangani kasus MTN Rp 50 Milyar bank NTT, karena Kejati NTT harus memastikan kasus tersebut pidana khusus ataukah pidana perbankan . “Memang betul kerugian negara, tapi ada aturan perbankan yang dilanggar nggak? Perbankan seluruhnya dan perbankan Bank NTT ada nggak aturannya?” tandasnya.

Menurutnya, jelas bahwa dunia perbankan memiliki aturan dan Standart Operational Procedure), tetapi terkait MTN Rp 50 Milyar tidak ada SOP. “Dan yang lebih jelas aturan perbankan dan SOP-nya ada semua. MTN kan belum ada. Kalau ada aturan yang dilanggar itu jelas, tidak perlu tunggu-tunggu lagi,” ungkapnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, proses penyelidikan kasus Medium Term Note (MTN) yang merugikan keuangan Bank NTT senilai Rp 60,5 M (berdasarkan LHP BPK RI, red) oleh Kejati NTT belum menunjukan progres yang berarti. Bahkan proses penyelidikan kasus Fraud (kecurangan perbankan, red) ini terkesan ‘tenggelam’ di Kejati NTT.

Para pegiat anti korupsi terus mendesak Kejati NTT untuk mempercepat proses hukum kasus yang merugikan Bank NTT hingga Rp 60,5 M. Mantan Kajati NTT, Yulianto sempat berjanji untuk mempercepat proses hukum kasus tersebut dengan melakukan ekspose/gelar perkara.

Berdasarkan LHP BPK RI Tahun 2019, setidaknya ada 7 pelanggaran yg dilakukan dalam proses pencairan dana untuk pembelian MTN (Surat Pengakuan Hutang PT. SNP), yakni :
• Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus baru dilakukan setelah PT SNP mengalami gagal bayar MTN.
4. Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT. Bank NTT belum memiliki pedoman pembelian dan batas nilai pembelian MTN.
5. Tidak melakukan telaah terhadap laporan keuangan audited PT. SNP tahun 2017 tapi hanya berpatokan pada peringkatan yang dilakukan PT Pefindo tanpa memperhatikan press realease PT Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan hanya berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 PT. SNP yang belum diaudit. Dengan demikian, mitigagasi terhadap resiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik;
6. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut. Konfirmasi hanya dilakukan kepada bank yang melakukan pembelian MTN PT. SNP;
7. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK. (SN01/tim)

Kategori
Berita Daerah

Hironimus Taolin Mangkir Lagi Dari Panggilan Kejati NTT

Spiritnesia.Com, KUPANG – Direktur PT. Sari Karya Mandiri (SKM), Hironimus Taolin (HT) mangkir lagi alias bandel dari/terhadap panggilan pemeriksaan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT), terkait dugaan korupsi senilai kurang lebih Rp 15 M akibat monopoli sejumlah proyek pada sejumlah daerah di NTT. Padahal, HT dijadwalkan menjalani pemeriksaan Kejati NTT pada Jumat (01/04/2022).

Demikian disampaikan Kejati NTT melalui Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H.,MH saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp/WA pada Jumat (01/04/2022)

“Tidak hadir (Hironimus Taolin tidak hadir untuk penuhi panggilan pemeriksaan oleh Kejati NTT, red),” tulisnya.

Menurut Abdul Hakim, Kejati NTT akan segera melakukan pemanggilan lagi terhadap Direktur PT. SKM (HT) setelah mangkir pada Jumat (01/04). “Masih panggilan I akan diagendakan pemanggilan lagi,” tandasnya.

Terkait mangkirnya HT untuk kesekian kali (kali keempat, red) menunjukkan sikap tidak tegas Kejati NTT, dibantah Abdul Hakim. “Bukan tdk (tidak) tegas, Kejati (Kejati NTT) sesuai prosedur perundang-undangan yg (yang) berlaku,” jelasnya.

Abdul Hakim memastikan komitmen Kejati NTT untuk tetap menyelesaikan kasus dugaan korupsi akibat monopoli sejumlah proyek pada 3 (tiga) daerah di NTT (TTS,TTU, Belum) yang melibatkan Direktur PT. SKM, HT. “Yg (yang) jelas penyidik tetap bekerja utk (untuk) selesaikan kasus ini,” tegasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya (01/04), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memeriksa Kontraktor PT. Sari Karya Mandiri (SKM), Hironimus Taolin (HT) dalam satu minggu ke depan terkait dugaan kerugian negara kurang lebih Rp 15 Milyar, akibat dugaan monopoli pengerjaan sejumlah proyek di tiga kabupaten di NTT (Kabupaten TTS, TTU, Belu) Tahun 2016 hingga 2021 (Sn/tim).

Kategori
Berita Daerah

Kejati NTT Enggan Jelaskan Tentang 3 Kasus Dugaan Korupsi di Bank NTT  

Spiritnesia.Com, KUPANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) bungkam/’tutup Mulut’ alias enggan bicara jujur dan terbuka terkait progres proses hukum 3 (tiga) kasus besar Bank NTT, yakni 1) Pembelian MTN Rp 50 Milyar; 2) Kredit fiktif Bank NTT Cabang Waingapu, Sumba Timur Rp 2,6 Milyar; 3) Kasus kredit macet bank NTT Cabang Surabaya senilai Rp 126,5 Milyar, red), khususnya keterlibatan Direktur Pemasaran Kredit, AS dan Kadiv Kredit, BRP. Kejati NTT juga tak berani memberikan keterangan terkait kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) Jaksa Kundrat Mantolas, SH.,MH dan Kontraktor PT. Sari Karya Murni (SKM), Hironimus Taolin (HT). Kejati NTT bahkan diduga sedang melindungi para pihak yang diduga terlibat dan bertanggungjawab  dalam kasus-kasus tersebut oleh karena tekanan politik dan kekuasaan.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Hutama Wisnu, S.H.,MH  dan Wakajati NTT, Agus Sahat, S.T. Lumban Gaol yang hendak ditemui wartawan tim media ini pada Kamis (24/03/2022) pukul 11.30 Wita hingga pukul 16.15 Wita di kantor Kejati NTT untuk diwawancarai terkait progress proses hukum kasus-kasus tersebut, terkesan menghindari wartawan. Sementara Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H.,MH, juga tidak berhasil ditemui tim wartawan media saat itu, karena menurut informasi pegawai Kejati NTT saat itu, Abdul sedang menjalani masa cuti.

Tim wartawan media hanya berhasil bertemu Kepala Seksi Intelejen (Kasi Intel) Kejati NTT, Yoni Esau Mallaka yang katanya ditugaskan Kajati dan Wakajati NTT saat itu untuk bertemu wartawan dan mencatat semua pertanyaan konfirmasi wartawan/media.

Awal kedatangan tim media pada pukul 11.30 Wita disambut staf kantor Kejati NTT dan wartawan melaporkan maksud kedatangan mereka ke kantor Kejati NTT. Sesudah itu, oleh salah seorang pegawai, wartawan media diarahkan menunggu di ruang layanan pengaduan. Lalu Ia melaporkan tujuan kedatangan wartawan ke pimpinan.

Sekitar pukul 12.00 Wita, Kajati NTT, Hutama Wisnu melalui Kasi Intel, Yoni Esau Mallaka bertemu dengan tim wartawan untuk mencatat sejumlah pertanyaan konfirmasi wartawan terkait progres penanganan 3 kasus Bank NTT dan kasus OTT Jaksa KM dan Kontraktor PT. SKM, HT.

Kasi Intel, Yoni E. Mallaka seusai mencatat sejumlah pertanyaan terkait kasus-kasus tersebut, meminta tim wartawan media untuk tetap menunggunya sebentar agar Ia melaporkan dan mengkonsultasikan pertanyaan wartawan media dengan Kajati dan Wakajati NTT serta (mengkonfirmasi, red) pihak jaksa atau jaksa penyidik yang menangani langsung kasus-kasus tersebut untuk mendapatkan informasi progres penanganan kasus-kasus tersebut.

Pada pukul 14.30 Wita, oleh karena saking lamanya menunggu, tim wartawan pamit untuk keluar makan siang. Dan pada pukul 15.30 Wita, tim media kembali lagi ke Kantor Kejati NTT untuk menunggu hasil konsultasi dan konfirmasi Kasidik Yoni E.Mallaka, namun hingga pukul 16.00 Wita, Kasi Intel tak kunjung muncul dengan hasil petunjuk atau penjelasan dari pihak Kejati NTT terkait progres penanganan kasus-kasus tersebut.

Baru dipukul 16.15 Wita, saat tim wartawan media ini memutuskan untuk meninggalkan kantor Kejati NTT, Kasi Intel Kejati NTT, Yoni E. Malaka muncul dengan informasi bahwa sampai detik ini (saat itu, red), belum ada petunjuk dari Kajati NTT, Hutama Wisnu maupun Wakajati NTT, Agus Sahat, S.T. Lumban Gaol serta jaksa penyidik yang menangani langsung kasus-kasus tersebut.

“Besok atau dua hari ke depan nanti kalau sudah ada petunjuk dari pak Kajati dan penyidik (Jaksa Penyidik, red) yang menangani kasus-kasus yang teman-teman tanyakan, baru saya informasikan untuk teman-teman datang dan kami jelaskan,” jelasnya.

Namun hingga berita ini ditayangkan, Senin (28/3/22) siang, belum ada informasi dari pihak Kejati NTT.

Berikut Kasus Yang Dikonfirmasi Media

1. Kasus dugaan Kredit Fiktif Bank NTT Cabang Waingapu tahun 2009.

Kasus dugaan kredit fiktif bank NTT Cabang Waingapu tahun 2009 dengan nilai kerugian Rp 1 Milyar dari total Rp 2,6 Milyar menyeret nama Harry Alexander Riwu Kaho, SH, MM (Dirut Bank NTT saat ini, red) dan P. Steven Mesakh (Direktur Kredit Bank NTT) yang pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam penyaluran kredit Bank NTT Cabang Waingapu kepada 20 orang anggota Gapoktan Fiktif tahun 2009. Kemudian penyidikan perkara ini dihentikan (di-SP3, red), dengan alasan karena PT. Ade Agro Industri (Tjahjadi) telah melunasi seluruh hutang 20 orang petani yang diduga fiktif baik pokok, bunga dan denda. Pelunasan tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Penghentian penyidikan oleh Kajari Waingapu diduga tidak sesuai Pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Kasus Pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT dari PT. SNP

Kasus ini juga melibatkan Aleks Riwu Kaho (Dirut Bank NTT saat ini, red), yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Treasury Bank NTT saat itu. Ia diduga melakukan tindakan ketidakhati-hatian dan penyalahgunaan kewenangan yang sama yakni melakukan investasi yang tidak prudent (tidak dapat dipercaya) pada PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) tanpa persetujuan Direksi dan tanpa due diligent, sehingga telah merugikan keuangan negara dalam Bank NTT senilai Rp 50 Milyar dan potensi Pendapatan Kupon Rate yang tidak diterima senilai Rp 10,5 Milyar.

Aleks Riwu Kaho diduga kuat bertanggung jawab atas kerugian akibat Pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP, karena secara prinsip, Aleks Riwu Kaho yang saat itu menjabat Kepala Divisi treasury tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan pembelian tersebut. Kewenangan untuk memutuskan ada pada Direksi Bank NTT bukan Kepala Divisi Treasury.

Berikut tujuh pelanggaran yang dilakukan dalam pembelian MTN:

1. Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, due diligence atau uji tuntas;

2. Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.

3. Pembelian MTN tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018.

4. Selain itu PT Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT SNP baru terjadi setelah PT SNP mengalami permasalahan gagal bayar.

5. Pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.

6. PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.

7. Tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Laporan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).

3.  Kasus Kredit Macet Cabang Surabaya senilai Rp 126,5 Milyar, khusus tidak diprosesnya AS dan DL.

Progres penyelesaian kasus tersebut dinilai ironis, karena tidak menjangkau semua pihak yang diduga turut terlibat dalam proses pemberian kredit tersebut, yakni Absalom Sine (Direktur Pemasaran Kredit saat itu, red) sebagai penanggung jawab tertinggi dan Beni R Pellu (Kepala Divisi Pemasaran Kredit saat itu, red).

Padahal, keduanya dinilai terlibat langsung dalam pengambil keputusan dalam Pemberian Fasilitas Kredit kepada Enam Debitur yang Terafiliasi dengan Stefanus Sulaiman pada PT Bank NTT KC Surabaya dengan Baki Debet per 30 Oktober 2019 Senilai Rp 126.536.358.357,32 Tidak Prudent, Tanpa Jaminan yang diikat, Terindikasi Digunakan Referal, Tidak Sesuai Peruntukan dan Berpotensi Merugikan PT Bank NTT.  Padahal Kepala Cabang Surabaya dan Terdakwa lainnya telah menjalani putusan pengadilan.

Dalam vonis hakim terhadap para terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Kupang yang dipimpin oleh Dju Jhonson Mira Mangngi, SH, MH didampingi hakim anggota, Ari Prabowo dan Ibnu Kholiq dalam putusannya menegaskan bahwa Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit Bank NTT Kantor Pusat dan Benny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit Bank NTT Kantor Pusat yang pada saat itu merupakan para pejabat pemutus 2/3 kredit tertinggi dalam proses pemberian fasilitas kredit modal kerja pada Bank NTT Cabang Surabaya, haruslah ikut bertanggung jawab atau patut dimintai pertanggungjawaban hukumnya.

Kedua, Kutipan Putusan Nomor 31/Pid.Sus-TPK/2020/PN Kpg Hal 146 menyebutkan keterlibatan langsung Beny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit pada tanggal 28 Desember 2018 bertempat di Bank NTT Kantor Pusat di Kota Kupang menyetujui usulan analis kredit dan HGLB Komersil dengan memberikan pendapat/keputusan didalam lembaran disposisi tertanggal 28 Desember 2018;

Sementara itu, Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit Bank NTT Kantor Pusat selaku pejabat pemutus tertinggi untuk plafon kredit dengan nilai diatas Rp 10 Milyar sampai dengan Rp 50 Milyar, setelah menerima berkas permohonan kredit CV. MM. Linen Indonesia, menyetujui permohonan kredit tersebut dengan memperhatikan profil perusahaan dan keuangan dari CV. MM Linen Indonesia, yang sejak awal telah disusun dengan data- data tidak benar, dengan maksud meningkatkan bonafiditas perusahaan.

Lalu pertimbangan hukum hakim dalam putusan atas nama terdakwa Didakus Leba, meruntuhkan pernyataan mantan Kajati  NTT (Dr. Yulianto) yang sebelumnya berulang kali menegaskan tentang tidak adanya keterlibatan Absalom Sine dalam kasus Korupsi Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja Bank NTT Cabang Surabaya tahun 2018.

Dilain sisi, pertimbangan hukum hakim dalam putusan atas terdakwa Didakus Leba juga mempertegas dugaan bahwa Kejati NTT terkesan menutupi keterlibatan Absalom Sine. Bahkan keberadaan istri dari Absalom Sine yakni Jaksa HM di Kejati NTT juga diduga menjadi penghambat bagi Kejati NTT untuk menjerat Absalom Sine selaku tersangka dalam kasus dimaksud. Hingga saat ini pihak Kejati NTT tidak memproses hukum Absalom Sine dan Beby R. Pellu.

4. Kasus OTT Jaksa Kundrat Mantolas dan Kontraktor PT. SKM

Kasus ini bermula dari OTT Satgas 53 Kejaksaan Agung terhadap Kasidik Kejati NTT, Kundrat Mantolas, S.H.,MH dan Direktur PT. SKM, HT di rumah HT pada Desember 2022 lalu. Perkiraan dugaan nilai pemerasan atau suap dalam kasus tersebut mencapai kurang lebih Rp 2 Milyar.

Kasus ini juga terkesan ironi bagi penegakan hukum di Indonesia, karena Jaksa KM hanya diberi sanksi administratif berupa bebas tugas selama 12 bulan, tanpa diproses pidana. Sementara HT, Direktur PT. SKM yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi dalam monopoli sejumlah proyek pengerjaan jalan di NTT telah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik Kejati NTT, tetapi dibiarkan saja berkeliaran tanpa proses hukum.

Kumudian berkembang dugaan bahwa Kejati NTT ada di bawah tekanan politik petinggi partai politik tertentu dan kekuasaan untuk tidak memproses pidana; baik Jaksa KM maupun HT sang kontraktor. Hal ini menyebabkan keluhan sejumlah pihak di wilayah TTU, karena sang kontraktor (HT) merasa besar kepala dilindungi politisi. Bahkan ‘bernyanyi’ dimana-mana telah mengamankan kasusnya di Kejati NTT. (Sn.at/tim)

Kategori
Berita Daerah

Kejari TTU dan Kejati NTT Diminta Jangan Lemah Hadapi Hironimus Taolin

Spiritnesia.Com, Kefamenanu – Koalisi Masyarakat Peduli Pembangunan dan Penegakan Hukum Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang terdiri dari Forum Anti Korupsi TTU (Fraksi TTU), Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi (CW) NTT dan Gerakan Rakyat Anti korupsi (Garda) TTU meminta Kejaksaan Negeri (Kejari) TTU dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT jangan lemah menghadapi Direktur PT. Sari Karya Mandiri (SKM), Hironimus Taolin (HT). Bila perlu melakukan jemput paksa dan memeriksa HT terkait sejumlah kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di TTU dan di NTT yang menyeret nama HT dan tokoh lain di Kabupaten TTU.

Demikian disampaikan Koalisi Masyarakat Peduli Pembangunan dan Penegakan Hukum Kabupaten TTU, dalam rilis tertulis yang diterima tim media ini pada Kamis (24/03/2022) terkait hasil audiensi Koalisi dengan Kejari TTU dan Jajaran Petinggi Kejari TTU di ruang kerja Kajari TTU tentang progres penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Dirut PT. SKM, HT.

“Kasus-kasus tersebut yakni kasus dugaan Korupsi Proyek Jalan Dalam Kota Kefamemanu tahun 2016 senilai Rp 10 Milyar lebih yang dikerjakan oleh PT. Sari Karya Mandiri (SKM), penanganan kasus dugaan Alat Kesehatan (Alkes) Kabupaten TTU Tahun 2015 senilai Rp 15 Milyar, penanganan dugaan korupsi program unggulan Bupati TTU tahun 2011-2015 , Program Padat Karya Pangan senilai Rp 30 milyar dengan dugaan korupsi sebesar Rp 18 Milyar lebih dan penanganan dugaan 3 kasus Korupsi projek jalan di 3 Kabupaten di NTT yang sementara ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, yang dikerjakan oleh PT. SKM dengan terpanggil Dikretur PT. SKM, Hironimus Taolin,” tulis Koalisi.

Menurut Ketua Lakmas CW, Viktor Manbait yang hadir dalam audiensi tersebut, Koalisi Masyarakat Peduli Pembangunan dan Penegakan Hukum Kabupaten TTU datang memberikan masukan dan informasi fakta tambahan terkait kasus kasus dugaan korupsi tersebut dan yang telah dilaporkan dan sedang di tangani Kejari TTU dan Kejati NTT.

“Kepada Kejari TTU dan jajaran Petinggi Kejari TTU, Ketua Garda TTU, Paulus Bau Modok dalam audiensi tadi sampaikan, bahwa kami datang melalui Kejari TTU menyampaikan kepada Bapak Kajati NTT (Wisnu Hutama, S.H., MH) agar segera panggil dan periksa Direktur PT. Sari Karya Mandiri Mandiri HT yang selalu mangkir dari panggilan Kejari TTU tanpa alasan. HT terlihat bebas berkeliaran mengerjakan projek-projek yang di kerjakan oleh PT. Sari Karya Mandiri,” jelasnya.

Viktor Manbait mengungkapkan, Koalisi Masyarakat Peduli Pembangunan dan Penegakan Hukum Kabupaten TTU berpendapat, bahwa negara, khususnya institusi penegak hukum (Kejari TTU dan Kejati NTT, red) tidak boleh tunduk dan takluk pada siapa pun di Republik ini yang melakukan perbuatan melanggar hukum.

“Kejati NTT (diminta) segera panggil dan periksa yang bersangkutan (HT) dan menetapkannya sebagai tersangka. Karena sudah jelas pekerjaan jalan itu dikerjakan oleh PT. Sari karya Mandiri yang Direkturnya adalah HT, dan terjadi perbuatan melanggar hukum dalam pelaksanaanya juga telah ada kerugian negaranya. Kejati NTT Masih mau tunggu apa lagi? Memangnya dia (HT) siapa sehingga harus ada keistimewaan terhadap dia dalam proses penegakan hukum? Atau Kejati memang tak berdaya karena dia di beking para politisi dan kekuasaan?” kritiknya.

Untuk kasus dugaan korupsi jalan dalam kota Kefamenanu, Direktur Lakmas CW, Victor Manbait menanyakan sudah sejauh mana penanganannya, karena kasus tersebut dilaporkan bersama-sama dengan dugaan kasus korupsi Alkes tahap 1 yang telah diputuskan PN Tipikor Kupang dan telah berkekuatan hukum tetap.

“Sementara dugaan korupsi jalan dalam kota Kefamenanu senilai Rp 10 Milyar yang dikerjakan oleh PT. Sari Karya Mandiri dengan Direkturnya (HT) tersebut masih jalan di tempat. Apakah Kejari TTU juga tak berdaya di hadapan pengusaha ini (HT)?” kritiknya.

Sementara itu, Ketua Fraksi TTU, Welem Oki yang ikut dalam audiensi itu juga mengkritisi sikap diam Kejari TTU dan Kejati NTT terhadap Direktur PT. SKM, HT. Padahal, HT sudah 3 (tiga) kali mangkir dari panggilan Kejati NTT. Bahkan HT dibiarkan berkeliaran di TTU dan mengunjungi proyek -proyeknya. Penegak Hukum seakan tidak punya nyali untuk menindak HT.

“Ini artinya ada pembiaran terhadap HT. Itu menunjukan dia (HT) lebih tinggi dari Institusi penegak hukum Kejaksaan Tinggi NTT. Ini preseden buruk atas wibawa penegakan hukum di negeri ini. Kejakaan tidak boleh takluk, sekalipun misalnya ada kekuatan partai politik ataupun kekuasaan yang coba melindunginya dengan berbagai dalih tak masuk akal,” tegasnya.

Terkait Kasus Alkes Tahun 2015 senilai Rp 15 Milyar, Welem Oki juga meminta Kejari TTU agar benar benar bekerja dengan profesional. Siapa pun yang terlibat dalam kasus tersebut, harus bertanggungjawab di hadapan hukum.

“Jangan terkesan tebang pilih. Kita apresiasi kejari TTU yang telah melakukan panggilan pemeriksaan terhadap Mantan Bupati TTU sekaligus selaku pengelola anggaran di Kabupaten TTU. Karena projek Alkes ini telanjang sekali bagaimana kontraktornya Onky Manafe begitu di istimewakan,” ungkapnya.

Sejak pelelangan, katanya, terjadi monopoli dan persaingan tidak sehat antara Yongky dan istrinya serta keterlibatanya saling berafialisasi untuk memenangkan paket Alkes tetapi seokah tak terdeteksi sama sekali oleh Pokja pengadaan dan dimenangkan.

Begitu juga saat pelaksaan projek, yang aktif berkomunikasi dengan panitia dan bahkan melakukan pesanan barang untuk 3 perusahaan pemenang tender projek tersebut adalah Onky Manefe.

“Sampai mengatur-ngatur PPK dan panitia penerima barang menanti saja kapan barangnya tiba. Onky sampai dengan habis masa kontrak belum berhasil mendatangkan Alkesnya,” bebernya.

Berikut, lanjutnya, meski barang Alkesnya belum lengkap, tetapi panitia terima barang menyatakan seratus persen telah diterima. Bahkan meskipun belum seluruhnya. Bahkan ada Alkes yang tidak pernah ada dalam kontrak, diadakan okeh Ongky dan dibayar oleh Panitia.

“Bila tidak ada kuasa kuat dibalik Onky ini tidak mungkinlah bisa begitu, sehingga Kejari TTU agar tidak saja memangkas ekornya, tetapi kepalanya dibiarkan terus bergerak memangsa,” kritiknya.

Koalisi ini juga mempertanyakan penanganan dugaan kasus korupsi padat karya pangan selama 5 tahun angaran, 2011 SD 2015 dengan total anggaran 38 milyar lebih, yang diduga dikorupsi senilai kurang lebih Rp 18 Milyar.

Menurut Paulus Modok, ini adalah program gagal yang mengatasnamakan orang miskin tetapi menjadi objek korupsi. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh Kejaari TTU.

Menurut Kejari TTU, jelasnya, untuk dugaan kasus korupsi padat karya mangan, pihaknya terus melakukan penyelidikan dan telah memeriksa sejumlah pihak dan pada saatnya akan diekspose .

Atas Kasus Alkes, Kejari TTU sangat serius dalam penanganya sehingga siapapun yang terkait dengan kasus ini pasti akan dipanggil dan dimintainketerangaya okeh kejari pun mantan bupati TTU, sebagaimana yang telah di lakukan.

Kajari TTU, Robert Nambila, S.H., dalam menanggapi permintaan Koalisi terkait dugaan korupsi 3 paket pekerjaan jalan di tiga kabupaten yang melibatkan Dirketur PT SKM, HT, memastikan akan meneruskan apa yang disampaikan koalisi ke Kejati NTT.

“Dan untuk kasus dugaan korupsi jalan dalam Kota Kefamenanu tahun 2016 senilai Rp 10 Milyar masih dalam penyelidikan Kejari TTU. Semua kasus yang telah dilalirkna dan semngra ditangani tidak akan di proses dan berujung ke pengadilan,” ujarnya.

Sedangkan terkait kasus Alkes, Robert mengaku hal itu memang cukup berat. Terutama dalam mengungkap kerugian negaranya, karena yang terjadi adalah sistem kontrak berbeda. “Misalnya terkait dengan volume kerja yang bisa dilihat dari selisiya. Tetapi bukan berarti kasus ini akan di diamkan, tidak. Kasus ini terus ditangani,” tegasnya. (AT.SN /tim)

Kategori
Berita

Pegiat Anti Korupsi Minta Kejati NTT Segera Proses Hukum Aleks Riwu Kaho Terkait Kasus MTN Rp 50 Milyar

Sritnesia.Com, JAKARTA – Pegiat Anti Korupsi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk segera mennagkap dan menahan serta memproses hukum mantan Kepala Divisi (Kadiv) Treasury Bank NTT, Aleks Riwu Kaho (saat ini Dirut Bank NTT, red), karena dinilai bertanggung jawab atas kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP. Aleks Riwu Kaho selalu Kepala Divisi Treasury bank NTT (saat itu, red) diduga sengaja bahkan lalai dengan menandatangani (menyetujui, red) pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP yang merugikan keuangan negara dan daerah serta keuangan masyarakat NTT.

Demikian disampaikan Ketua AMMAN FLOBAMORA, Roy Watu Pati dan Ketua Kompak Indonesia, Gabrial Goa dalam rilis tertulis kepada tim media ini, pada Senin (21/03/2022).

“Kami minta Kejati NTT untuk abaikan keputusan para pemegang saham dalam hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT Tahun 2022 di Labuan Bajo kali lalu, bahwa kasus kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar di PT. SNP sebagai risiko bisnis. Kami minta Kejati tangkap dan tahan serta proses hukum Aleks Riwu Kaho. Keputusan RUPS (terkait MTN Rp 50 Milyar sebagai business judgement rules, red) kemarin terkesan hanya trik untuk melindungi terduga pencuri uang negara dan daerah serta rakyat dari jeratan hukum,” tulis duo pegiat anti korupsi.

Menurut Roy Watu Pati dan Gabrial Goa, kasus kerugian bank NTT melalui pembelian MTN Rp 50 Milyar merupakan tindakan kejahatan perbankan yakni perampokan uang negara dan daerah serta masyarakat NTT, yang diduga dilakukan dengan sengaja oleh sejumlah orang dengan tujuan memperkaya diri atau sekelompok orang.

“Dan itu bukanlah risiko bisnis. Kalau itu risiko bisnis, maka tidak mungkin ia menjadi temuan BPK. Dengan demikian, jika ada indikasi temuan pelanggaran yang merugikan perekonomian negara dan daerah, maka semua pihak harus menghormati dan wajib menindaklanjuti LHP BPK tersebut,” jelasnya.

Kedua pegiat anti korupsi itu menegaskan, bahwa masalah MTN Rp 50 Milyar itu dikatakan resiko bisnis hanya apabila pembelian MTN Rp 50 M itu melalui suatu proses atau mekanisme yang baik dan yang ada di bank NTT. Faktanya, proses pembelian MTN itu tidak demikian. Pembelian MTN tersebut diduga hanya inisiatif dan keputusan beberapa oknum tertentu saja dan tidak diketahui serta tidak disetujui hirarki yang lebih tinggi di bank NTT.

“Dewan Direksi tidak tahu, hanya Kadiv Treasury (saat itu dijabat Aleks Riwu Kaho, red) dan Dirum Keuangan Bank NTT (yang saat itu dijabat Edu Bria Seran, red) yang tahu. Lalu bagaimana bisa dikatakan risiko bisnis. Jangan drama-drama lah dengan uang milik banyak pihak di bank NTT,” pinta keduanya.

Roy dan Gab lanjut membeberkan pelanggaran lain terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020, diantaranya yaitu:
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;
4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;
5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;
6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.

“Dasar ini seharusnya sudah menjadi dasar kuat dan cukup bagi para pemegang saham untuk merekomendasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Kejati NTT dan KPK, red) untuk menelusuri kerugian tersebut dan memproses hukum para terduga pelaku. Bukan sebaliknya melindungi para terduga pelaku pencurian uang negara dan daerah serta masyarakat,” kritik duo pegiat anti korupsi.

Sebenarnya terkait pelanggaran tersebut, lanjut mereka, BPK juga telah merekomendasikan 2 hal penting yakni, pertama, Dewan Komisaris dalam RUPS agar meminta Jajaran Direksi PT Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan kedua, Direktur Utama (Dirut) agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.

“Kami sangat kecewa dengan hasil RUPS Labuan Bajo 17 Maret 2022 yang terkesan ada “kerjasama“ yang sedemikian rapi dan menyatakan kerugian Rp 50 Milyar itu hal biasa dalam bisnis. Kami tidak terima kesimpulan RUPS yang menyatakan kerugian Rp 50 Miliar itu hal biasa. Ini penjabat jelas mengangkangi rakyat NTT yang dengan jerih payah menabung di Bank NTT, lalu para pengambil kebijakan (management, red) dengan tanpa beban menghamburkan uang senilai Rp 50 Miliar,” ungkap duo pegiat anti korupsi.

Roy dan Gab mengungkapkan, bahwa pihaknya dan sejumlah organisasi pegiat anti korupsi dalam waktu dekat akan melaporkan kasus ini ke KPK dan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran, jika Kejati NTT terus menerus diamkan kasus tersebut.

“Kami harus lapor ke KPK dan akan gelar demo masal di Bank NTT, jika Kajati NTT tidak segera tangkap Alex Riwu Kaho. Dan jika Pemegang Saham Pengendali dalam hal ini Gubernur NTT tidak segera copot Alex Riwu Kaho,” tegas duo aktivis anti korupsi tersebut. (SN.AT /tim)