Sritnesia.Com, JAKARTA – Pegiat Anti Korupsi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk segera mennagkap dan menahan serta memproses hukum mantan Kepala Divisi (Kadiv) Treasury Bank NTT, Aleks Riwu Kaho (saat ini Dirut Bank NTT, red), karena dinilai bertanggung jawab atas kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP. Aleks Riwu Kaho selalu Kepala Divisi Treasury bank NTT (saat itu, red) diduga sengaja bahkan lalai dengan menandatangani (menyetujui, red) pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP yang merugikan keuangan negara dan daerah serta keuangan masyarakat NTT.
Demikian disampaikan Ketua AMMAN FLOBAMORA, Roy Watu Pati dan Ketua Kompak Indonesia, Gabrial Goa dalam rilis tertulis kepada tim media ini, pada Senin (21/03/2022).
“Kami minta Kejati NTT untuk abaikan keputusan para pemegang saham dalam hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT Tahun 2022 di Labuan Bajo kali lalu, bahwa kasus kerugian bank NTT akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar di PT. SNP sebagai risiko bisnis. Kami minta Kejati tangkap dan tahan serta proses hukum Aleks Riwu Kaho. Keputusan RUPS (terkait MTN Rp 50 Milyar sebagai business judgement rules, red) kemarin terkesan hanya trik untuk melindungi terduga pencuri uang negara dan daerah serta rakyat dari jeratan hukum,” tulis duo pegiat anti korupsi.
Menurut Roy Watu Pati dan Gabrial Goa, kasus kerugian bank NTT melalui pembelian MTN Rp 50 Milyar merupakan tindakan kejahatan perbankan yakni perampokan uang negara dan daerah serta masyarakat NTT, yang diduga dilakukan dengan sengaja oleh sejumlah orang dengan tujuan memperkaya diri atau sekelompok orang.
“Dan itu bukanlah risiko bisnis. Kalau itu risiko bisnis, maka tidak mungkin ia menjadi temuan BPK. Dengan demikian, jika ada indikasi temuan pelanggaran yang merugikan perekonomian negara dan daerah, maka semua pihak harus menghormati dan wajib menindaklanjuti LHP BPK tersebut,” jelasnya.
Kedua pegiat anti korupsi itu menegaskan, bahwa masalah MTN Rp 50 Milyar itu dikatakan resiko bisnis hanya apabila pembelian MTN Rp 50 M itu melalui suatu proses atau mekanisme yang baik dan yang ada di bank NTT. Faktanya, proses pembelian MTN itu tidak demikian. Pembelian MTN tersebut diduga hanya inisiatif dan keputusan beberapa oknum tertentu saja dan tidak diketahui serta tidak disetujui hirarki yang lebih tinggi di bank NTT.
“Dewan Direksi tidak tahu, hanya Kadiv Treasury (saat itu dijabat Aleks Riwu Kaho, red) dan Dirum Keuangan Bank NTT (yang saat itu dijabat Edu Bria Seran, red) yang tahu. Lalu bagaimana bisa dikatakan risiko bisnis. Jangan drama-drama lah dengan uang milik banyak pihak di bank NTT,” pinta keduanya.
Roy dan Gab lanjut membeberkan pelanggaran lain terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020, diantaranya yaitu:
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;
4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;
5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;
6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.
“Dasar ini seharusnya sudah menjadi dasar kuat dan cukup bagi para pemegang saham untuk merekomendasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Kejati NTT dan KPK, red) untuk menelusuri kerugian tersebut dan memproses hukum para terduga pelaku. Bukan sebaliknya melindungi para terduga pelaku pencurian uang negara dan daerah serta masyarakat,” kritik duo pegiat anti korupsi.
Sebenarnya terkait pelanggaran tersebut, lanjut mereka, BPK juga telah merekomendasikan 2 hal penting yakni, pertama, Dewan Komisaris dalam RUPS agar meminta Jajaran Direksi PT Bank NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan kedua, Direktur Utama (Dirut) agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.
“Kami sangat kecewa dengan hasil RUPS Labuan Bajo 17 Maret 2022 yang terkesan ada “kerjasama“ yang sedemikian rapi dan menyatakan kerugian Rp 50 Milyar itu hal biasa dalam bisnis. Kami tidak terima kesimpulan RUPS yang menyatakan kerugian Rp 50 Miliar itu hal biasa. Ini penjabat jelas mengangkangi rakyat NTT yang dengan jerih payah menabung di Bank NTT, lalu para pengambil kebijakan (management, red) dengan tanpa beban menghamburkan uang senilai Rp 50 Miliar,” ungkap duo pegiat anti korupsi.
Roy dan Gab mengungkapkan, bahwa pihaknya dan sejumlah organisasi pegiat anti korupsi dalam waktu dekat akan melaporkan kasus ini ke KPK dan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran, jika Kejati NTT terus menerus diamkan kasus tersebut.
“Kami harus lapor ke KPK dan akan gelar demo masal di Bank NTT, jika Kajati NTT tidak segera tangkap Alex Riwu Kaho. Dan jika Pemegang Saham Pengendali dalam hal ini Gubernur NTT tidak segera copot Alex Riwu Kaho,” tegas duo aktivis anti korupsi tersebut. (SN.AT /tim)