Oleh Yohanes Hegon Kelen Kedati
Ketua Gerakan Republik Anti Korupsi (GRAK)
Spiritnesia.Com, JAKARTA – Sejumlah media di NTT (:selatanindonesia.com, koranntt.com, katantt.com, lintasntt.com) sejak tanggal 17 dan 18 Maret 2022 dalam satu irama ‘kor’ memberitakan tentang hasil Keputusan RUPS Bank NTT Tahun 2022 bahwa pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT di PT. SNP merupakan Business Judgement Rules (BJR) atau resiko bisnis.
Mengutip pemberitaan media selatanindonesia.com dan sejumlah media lain (koranntt.com, katantt.com, lintasntt.com) “Para pemegang saham Bank NTT yang terdiri dari Gubernur dan Bupati/Walikota se Provinsi NTT bersepakat bahwa persoalan Pembelian Medium Term Notes (MTN) atau Surat Hutang Jangka Menengah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) oleh Bank NTT merupakan resiko bisnis.
Kesepakatan itu terbangun dalam momentum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan Tahun 2021 dan RUPS Luar Biasa Tahun 2022 Bank NTT di Lingko Meeting Room, Sudamala Resort, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Kamis (17/3/ 2022).
Salah satu pemegang saham, Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore di arena RUPS mengatakan, dalam RUPS sebelum-sebelumnya ia yang mengangkat dalam forum RUPS bahwa persoalan MTN merupakan bagian dari resiko bisnis, bukan berdampak pada bagian dari kerugian negara. “Kita juga sudah mengetahui sebelumnya bahwa Bank NTT melalui MTN itu sudah memperoleh Rp 500 miliar lebih dan kerugian Rp 50 miliar itu merupakan resiko bisnis”
Pandangan Wali Kota Kupang dan Pemegang Saham terkait persoalan MTN Rp 50 Milyar Bank NTT sebagai resiko bisnis adalah sangat tidak tepat, karena seharusnya pandangan tersebut merujuk pada UNDANG-UNDANG Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PERSEROAN TERBATAS (PT) pada prinsipnya mengakomodir Business Judgement Rule sebagaimana diatur dalam Pasal 92 dan 97, yaitu sebagai berikut:
Pasal 92 ayat (1) dan (2):
1. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.
Pasal 97:
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
Anggota Direksi tidak dapat di mintai pertanggungjawabanya atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.
Apabila mencermati Pasal 92 dan Pasal 97 diatas, maka direksi tetap dapat dilindungi prinsip Business Judgement Rule apabila kebijakan (keputusan) yang diambilnya dipandang tepat walaupun kemungkinan perseroan mengalami kerugian.
Fakta hukum pembelian MTN 50 M Bank NTT dikaitkan dengan resiko bisnis (Bussines Judgment Rule/BJR) dalam UU 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas adalah :
Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 pada Halaman 30 secara jelas menyebutkan PT. Bank NTT menelaah atas usulan pembelian MTN VI SNP tahap I Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Kasubdiv Domestik dan International dan Dealer yang disetujui oleh Kepala Divisi Treasury pada tanggal 06 Maret 2018;
Bahwa berdasarkan Fakta pertama ini maka ketentuan Pasal 97 ayat 5 UU 40 Tahun 2007 tentang BJR ini tidak dapat diterapkan karena perbuatan pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI melainkan KEPUTUSAN KEPALA DIVISI;
Bahwa Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore di arena RUPS mengatakan, dalam RUPS sebelum-sebelumnya ia yang mengangkat dalam forum RUPS bahwa persoalan MTN merupakan bagian dari resiko bisnis, bukan berdampak pada bagian dari kerugian negara adalah tidak memiliki pijakan aturan yang kuat. Pembelian MTN 500 M oleh Bank NTT sangat terkait dengan kerugian Negara, karena uang Negara disertakan sebagai modal dan Terduga Pelaku (saat itu Aleks Riwu Kaho yang adalah Dirut Bank NTT saat ini, red) dalam peristiwa ini adalah BUKAN DIREKSI sehingga pembelian MTN tersebut adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI, kemudian unsur-unsur Kerugian Bisnis (BJR) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan tersebut sama sekali tidak terpenuhi sehingga tidak bisa diterapkan;
Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP;
4. Tidak melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan PT. SNP;
5. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut;
6. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK.
Bahwa Terduga Pelaku sebagai kepala Divisi Treasury sesuai ketentuan internal bank NTT sama sekali tidak memiliki kewenangan memutuskan pembelian MTN 50 M tersebut. Oleh karena itu sudah sangat jelas dan terang benderang, bahwa ini adalah BUKAN MERUPAKAN KEPUTUSAN DIREKSI sehingga tidak relevan lagi dan tidak dapat diterapkan argumentasi Business Judgment Rule (BJR) tersebut.
Bahwa dalam fakta kedua ini berdasarkan temuan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut, maka sudah sangat jelas dan terang benderang pembelian MTN yang mengakibatkan kerugian Bank NTT tersebut dilakukan penuh dengan KELALAIAN DAN TIDAK HATI-HATI sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat 5 undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) SEHINGGA TIDAK BISA DITERAPKAN
Bahwa peristiwa hukum yang sama dengan subjek hukum yang berbeda yaitu pembelian MTN PT. SNP oleh Bank SUMUT telah dituntut oleh Kejaksaan Tinggi Medan atas nama terdakwa Maulana Akhyar Lubis (Kepala Divisi Treasury) dengan Tuntutan selama 19 tahun penjara dan kemudian divonis oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dengan putusan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana selama 10 tahun. Putusan Pengadilan Tipikor Medan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN;
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan: (1) bahwa sangat tidak tepat dan berlebihan jika kerugian Negara nantinya menjadi Business Judgment Rule (BJR), karena Terduga Pelaku dalam peristiwa ini adalah bukan Direksi dan pembelian MTN tersebut adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI. Kemudian unsur-unsur BJR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat 5 undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan tersebut sama sekali tidak terpenuhi sehingga tidak bisa diterapkan;
(2) bahwa benar saat ini Terduga Pelaku dalam peristiwa ini sedang menjabat Direksi tetapi harus diperhatikan bahwa TEMPUS DELICTI (waktu terjadinya tindak pidana) dalam peristiwa ini adalah saat Terduga Pelaku (Aleks Riwu Kaho, red) sedang menjabat sebagai Kepada Divisi Treasury sehingga kekhawatiran atas BJR tersebut tidak dapat diterapkan.
(3) Bahwa pertimbangan hukum dalam putusan Majelis Hakim pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dan Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN sama sekali tidak ada mempertimbangkan terkait Business Judgment Rule (BJR) tersebut**
“Benang kusut” masalah Bank NTT masih ditambah lagi dengan kemunduran kepemimpinan yang telah meresahkan pegawai yaitu dugaan tidak dibayarnya Tunjangan Hari Raya (THR), Tunjungan sandang, Tunjangan Hari Ulang Tahun Bank NTT.
Menolak Lupa Target Laba Rp 500 Milyar
Laba bank NTT dua tahun terakhir yaitu tahun 2020 dan 2021 terus menurun jauh dari target capaian Rp 500 Milyar (tahun 2020 hanya Rp 236.289 M dan tahun 2021 lebih merosot lagi menjadi Rp 228.268 M). Lalu Hapus Buku Kredit dua tahun terakhir meningkat dan Kasus MTN tidak terselesaikan.
Dari sebab itu, publik NTT menolak lupa dan menagih janji komitmen laba Rp 500 Milyar bank NTT yang telah “makan korban” Izak Edward Rihi, Dirut yang belum satu tahun memimpin bank NTT kemudian diberhentikan karena tidak mencapai target laba tersebut. Dirut Bank NTT saat ini, Aleks Riwu Kaho saat ini sudah 2 Tahun buku (2020 dan 2021) hasil kerjanya pun tidak mencapai laba Rp 500 Milyar dan bahkan lebih rendah dari Tahun 2019.
Aleks Riwu Kaho bahkan diduga orang yang terlibat langsung dalam Pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT, tetapi dibiarkan memimpin Bank NTT, bahkan cenderung “dibela” oleh Pemegang Saham dalam kasus ini. Padahal kasusnya sudah terang benderang sesuai LHP BPK dan tidak memenuhi unsur BJR.
Sangat miris sekali, ditengah-tengah kemiskinan ekstrim yang tidak kunjung teratasi, masih saja uang rakyat dan negara yang ada di bank NTT diduga disalahgunakan sejumlah oknum dengan cara – cara yang melawan hukum. Anehnya, hal tersebut masih terus dibiarkan oleh para pemegang saham (RUPS).
Hanya dengan pertolongan Tuhan dan integritas tinggi, kita selamatkan uang rakyat dan Negara di bank NTT dari cara kerja yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi.
Jika tidak, maka bisnis dan politik akan berselingkuh. Ketika Bisnis dan Politik Berselingkuh, maka akan lahirlah anak haram berupa kemelaratan dan kemiskinan rakyat serta pegawai.(SN/tim)