Spiritnesia, com. Jakarta – Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Amarta Karya (Persero) alias PT. AMKA menunggak pembayaran ke vendor-vendornya dengan nilai fantastis hingga mencapai lebih dari Rp 400 miliar.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Media ini, angka fantastis tersebut merupakan tunggakan pembayaran PT. AMKA dari proyek-proyeknya selama 5 tahun terakhir.
Salah satu vendor PT. AMKA yang yang dihubungi via pesan WhatsApp/WA pada Rabu (3/5/23) mengungkapkan, saat ini PT. AMKA masih dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
“Perusahaan-perusahaan selaku kreditur PT. AMKA akan melakukan pemungutan suara untuk mempailitkan BUMN tersebut jika proposal perdamaian yang diajukan oleh BUMN tersebut ditolak oleh para kreditur,k” ungkap yang enggan disebutkan namanya.
Dalam proposal perdamaian yang diajukan PT. Amarta Karya kepada kurator, paparnya, BUMN tersebut meminta penundaan pembayaran utang hingga 20 tahun ke depan.
“Hal ini tentu ditolak oleh sejumlah perusahaan yang bekerja sama dengan PT. Amarta Karya. Mereka sepakat untuk voting mempailitkan BUMN tersebut,” ujarnya.
Perusahaan perusahaan vendor/kreditur, lanjutnya, hanya bisa memberi tenggat waktu hingga 1 tahun ke depan.
Beberapa perusahaan selaku kreditur PT. Amarta Karya mengaku telah melayangkan surat kepada Menteri BUMN Eric Thohir untuk membantu mengatasi permasalahan ini.
“Namun hingga saat ini belum ada tanggapan sama sekaIi dari Menteri BUMN. Rencananya perusahaan perusahaan yang merasa dirugikan akan mengadu ke Komisi VI DPR RI selaku mitra dari Kementerian BUMN,” tandasnya.
PT. Amarta Karya saat ini, jelasnya, masih berada dalam PKPU dan berupaya untuk mengajukan perpanjangan PKPU dengan tujuan untuk memperbaiki proposal perdamaian sebelumnya.
“Hanya para kreditur sudah kehilangan kesabaran dan akan tetap berupaya mempailitkan PT. Amarta Karya jika dalam tahun 2023 ini belum melunasi semua kewajibannya,” bebernya.
Ia mengungkapkan, hingga saat ini tercatat puluhan perusahaan sebagai vendor PT. Amarta Karya memiliki piutang. “Nilainya mulai dari belasan juta hingga miliaran rupiah yang hingga saat ini belum dicicil oleh BUMN tersebut,” ungkapnya.