
Oleh: Maria Kristiana Gadhe
Spiritnesia,com. Kupang – Negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak kesetaraan warga masyarakat. Sebagai negara yang memegang prinsip demokrasi, pemilihan umum. General election adalah wajib dilaksanakan. Dalam konteks ini, pemilu merupakan implementasi dari konsep demokrasi yang dijalankan secara prosedural. Pemilu tahun 2024 menjadi sarana demokrasi perempuan dalam memperjuangkan hak dan kedudukannya dalam ranah politik. Keterlibatan perempuan dalam politik adalah “asas” dari pembangunan politik yang inklusif, adil dan berkelanjutan.
Secara historis, sejak awal kemerdekaan perempuan sudah memperkenalkan secara luas bagaimana partisipasinya dalam berbagai ranah publik. Kongres wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, merupakan tonggak sejarah, karena ikut berpartisipasi dalam pembangunan termasuk dalam ranah politik. Keterwakilan perempuan dalam politik pertama kali terjadi pada pemilu tahun 1955.
Perempuan memiliki hal memilih dan dipilih. Pemilu pertama tahun 1955 memperoleh 16 orang perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen. Jumlah ini hanya 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
Meskipun data tersebut, menunjukan masih rendahnya keterwakilan perempuan di politik, namun perempuan telah memperlihatkan partisipasi politik mereka.
Perjuangan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam ranah politik pada tahap selanjutnya banyak kendala.
Walaupun secara kuantitas jumlah perempuan melebihi laki-laki, namun perempuan semakin menunjukkan ketidakberdayaan, karena perannya di berbagai lembaga politik formal (partai politik) atau pengambilan keputusan politik, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif belum terwakili secara seimbang.
Dalam hasil pemilu tahun 2024, data resmi menunjukkan bahwa 129 perempuan berhasil meraih kursi di Senayan. Angka ini, meskipun menandai peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, masih belum mencapai target kuota affirmative action sebesar 30%. Dengan hanya mencapai 22,24% dari total kursi yang tersedia, keterwakilan perempuan di parlemen menyoroti ketidakseimbangan yang masih ada dalam proses politik Indonesia.
Meskipun sistem proposional terbuka seharusnya memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih sebagai anggota parlemen, kenyataannya menunjukkan bahwa partai politik belum mampu mengantarkan keterwakilan perempuan mencapai ambang batas tersebut.
Tantangan dalam mencapai kuota 30% ini menyoroti perlunya upaya lebih lanjut dalam mendorong partai politik untuk lebih memperhatikan kandidat perempuan dan memberikan dukungan yang lebih besar bagi mereka.
Kesadaran publik tentang pentingnya keterwakilan perempuan dalam proses politik juga perlu ditingkatkan, dengan upaya meningkatkan pemahaman akan kontribusi yang berharga yang dapat diberikan oleh perempuan dalam pembuatan keputusan politik.
Dengan demikian, diperlukan kerja sama antara partai politik, pemilih, dan masyarakat secara keseluruhan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa perempuan memiliki peran yang lebih signifikan dalam politik Indonesia, menuju masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua.

Selain itu, perlu juga mengkaji tentang partai politik. Partai politik secara fungsi adalah menjadi sarana bagi para kader untuk bisa terlibat dalam politik praktis. Poin penting adalah perekrutan kader yang akan terlibat dalam partai politik tidak hanya sebatas pemenuhan kuota, namun lebih daripada itu.
Relevan dengan konsep “politics of presence” yang diperkenalkan oleh Anne Phillips (1998) menggambarkan betapa pentingnya kehadiran fisik perempuan dalam politik untuk mewakili kepentingan dan pengalaman perempuan dalam pembuatan keputusan politik.
Dalam konteks ini, perempuan tidak hanya terperangkap dengan statusnya sebagai kader partai namun bagaimana kehadirannya dalam membuat suatu kebijakan yang pro perempuan serta mampu mempengaruhi kebijakan pemerintahan.
Kehadiran perempuan tidak hanya menjadi norma, tetapi juga menjadi kekuatan pendorong di balik perubahan politik yang substansial.
Partai politik juga bertanggung jawab untuk memberikan dukungan dan sumber daya yang cukup bagi kandidat perempuan mereka, termasuk akses terhadap dana kampanye, pelatihan politik, dan bimbingan strategis. Tidak hanya itu, penting bagi partai politik untuk memperhatikan struktur kepemimpinan internal mereka, memastikan bahwa lebih banyak perempuan menduduki posisi penting dalam hierarki partai.
Selain menjadi contoh bagi perempuan lainnya, keberadaan perempuan dalam posisi kepemimpinan juga dapat mempengaruhi agenda politik partai secara keseluruhan.
Terakhir, partai politik harus memasukkan agenda politik yang relevan dengan kepentingan perempuan dalam platform politik mereka, termasuk isu-isu seperti kesetaraan gender, hak reproduksi, kesehatan perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan.
Hanya dengan memperhatikan semua aspek ini, partai politik dapat menjadi agen yang efektif dalam memperjuangkan keterwakilan perempuan yang lebih besar dan lebih bermakna di parlemen, serta memastikan bahwa peran perempuan dalam politik benar-benar diakui dan dihargai.