Spiritnesia.com, TTU – Penetapan tersangka dan penahanan terhadap Valerianus Obe dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap Petrus Malafu Anapah (PMA) dinilai sarat kejanggalan dan tidak memenuhi syarat dua alat bukti permulaan yang cukup. Ketua Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil Wangi (LAKMAS CW) NTT, Viktor Manbait, SH, mengungkapkan dugaan ketidakindependenan penyidik Polres TTU karena diduga berada di bawah tekanan EA, seorang anggota Polres TTU sekaligus anak PMA.
Dalam rilis tertulis yang diterima media pada Selasa (7/1/2025), Viktor menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Valerianus dilakukan secara terburu-buru. “Kami menduga telah terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh anggota Reskrim Polres TTU yang memengaruhi penyidik sehingga tanpa kecermatan menetapkan Valerianus Obe sebagai tersangka,” tulis Viktor.
Viktor menjelaskan, Valerianus dan istrinya diduga mengalami intimidasi selama pemeriksaan. Ia juga menduga laporan yang diajukan PMA adalah laporan palsu. “Berdasarkan keterangan saksi dan istri Valerianus, tidak pernah terjadi kontak fisik antara Valerianus dan pelapor,” ungkap Viktor. Sebaliknya, Valerianus justru diduga menjadi korban tindakan kekerasan oleh AA, saudara perempuan EA.
LAKMAS CW mendesak Kapolres TTU, AKBP Mohammad Mukhson, SH, SIK, MH, untuk mengawasi proses penyidikan dengan memerintahkan penyidik melakukan olah TKP menyeluruh dan menggelar perkara secara terbuka. Selain itu, pihaknya meminta Propam Polres TTU menyelidiki dugaan intimidasi yang dilakukan EA dan RT terhadap Valerianus dan keluarganya.
Kronologi Kejadian.
Kasus ini bermula pada 14 Desember 2024 malam saat Valerianus dan teman-temannya berkumpul di rumahnya. Seorang anggota Polres TTU, EA, tiba-tiba datang mencari seseorang bernama Yuven. Saat Valerianus mencoba menanyakan alasan kedatangan EA, situasi memanas hingga terjadi keributan antara keluarga EA dan Valerianus.
Menurut istri Valerianus, tidak ada pemukulan terhadap PMA seperti yang dituduhkan. Bahkan, ia melihat PMA memegang batu di kedua tangannya. Namun, pada 16 Desember 2024, Valerianus dilaporkan ke Polres TTU atas dugaan penganiayaan.
Proses hukum terus berlanjut dengan berbagai kejanggalan. Pada 23 Desember 2024, Valerianus ditetapkan sebagai tersangka, meskipun keterangan saksi mendukung bahwa tidak ada pemukulan. Valerianus kemudian ditahan pada 2 Januari 2025 setelah memenuhi panggilan pemeriksaan kedua.
Protes dan Permohonan Penangguhan.
Keluarga Valerianus mengajukan permohonan penangguhan penahanan pada 3 Januari 2025, namun belum mendapat jawaban. Sementara itu, laporan keluarga Valerianus ke Propam terkait tindakan EA mengalami kendala teknis.
“Saya bingung ke mana lagi mencari keadilan. Banyak kejanggalan dalam penanganan kasus ini,” ujar istri Valerianus, Erniyani Maria Nahak.
Kapolres TTU melalui Kasat Reskrim Iptu Jeffry Dwi Nugroho Silaban, S.Tr.K, menegaskan bahwa proses hukum telah sesuai prosedur. “Kami sudah menangani kasus ini sesuai SOP,” ujarnya.
Hingga kini, kasus ini terus menjadi sorotan publik. LAKMAS CW dan keluarga Valerianus mendesak transparansi dan independensi penyidik dalam menangani perkara demi penegakan hukum yang adil. (**)