Kategori
Berita Daerah Kriminal Nasional

GMKJ NTT Minta Polisi Tetapkan Pasal 18 UU Pers di Kasus Percobaan Pembunuhan Wartawan di NTT

Spiritnesia.Com, Kupang – Sejumlah organisasi yang bergabung dalam Koalisi Gerakan Menolak Kekerasan Jurnalis di Nusa Tenggara Timur/GMKJ NTT (yakni AJI Kota Kupang, WALHI NTT, LBH PERS Jakarta, KOWAPPEM) mendesak Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kupang untuk menggunakan/menerapkan Pasal 18 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dalam kasus percobaan pembunuhan wartawan dan Pemred (Pemimpin Redaksi) media online Suaraflobamora.Com, Fabianus Paulus Latuan (FPL). Alasannya, kasus penganiayaan terhadap FPL diduga berkaitan dengan aktifitas pemberitaan dan penganiayaan tersebut bagian dari upaya pembungkaman (menghambat dan menghalangi, red) tugas dan kerja jurnalistik.

Demikian disampaikan Mulya Sarmono, Anggota Koalisi GMKJ NTT dari LBH Pers, saat diwawancarai tim media ini pada Selasa (17/05/2022) terkait proses hukum kasus percobaan pembunuhan terhadap wartawan FPL di gerbang masuk/keluar Kantor PD Flobamor beberapa waktu lalu (26/04).

“Alasan polisi juga perlu menyertakan pasal 18 UU Pers adalah karena korban saat kejadian sedang dalam proses peliputan dan ada dugaan penganiayaan tersebut sekaitan dengan aktivitasnya dalam pemberitaan. Sehingga penting kiranya pasal tersebut (pasal 18 UU Pers Nomor 40 tahun 1999, red) juga dipakai dalam menyelesaikan kasus itu. Mengingat, aturan tersebut adalah pasal yang dikenakan bagi seseorang yang menghambat atau menghalang-halangi pelaksanaan tugas jurnalis di lapangan,” jelasnya.

Mulya Sarmono menjelaskan, bahwa penerapan pasal tersebut terhadap para pelaku (selain pasal yang sudah ditetapkan oleh penyidik Polresta Kupang, red) diharapkan menjadi pembelajaran bagi semua pihak, agar korban (FPL) tidak mengalami kejadian yang sama kedepan.

“Selain itu, jika kasus ini diselesaikan dengan baik oleh penegak hukum, kasus ini juga akan menjadi contoh agar jurnalis tidak boleh mendapatkan kekerasan karena dalam menjalankan profesinya, jurnalis dilindungi oleh undang-undang,” ujarnya.

Menurutnya, dengan adanya penerapan pasal tersebut, Koalisi GMKJ NTT juga mengharapkan adanya ancaman pidana yang maksimal bagi para pelaku. Mengingat, kekerasan terhadap FPl bukan hanya sedekar kekerasan individu saja, tetapi telah mencederai kemerdekaan pers. “Dan tentunya mencederai hak asasi warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Pers,” tegasnya.

Terkait kemungkinan ada tidaknya dalang atau aktor intelektual dibalik kasus percobaan pembunuhan wartawan FPL, Mulya Sarmono menyerahkan proses penyidikan dan pengungkapan kasus tersebut kepada pihak kepolisian (Polresta Kupang, red) . “Kita pada dasarnya tidak mau mendahului hasil penyidikan dari Kepolisian. Kita juga harus mengacu pada asas praduga tak bersalah,” jelasnya.

Namun, lanjut Mulya, mengacu pada informasi yang diterima pihaknya dan berdasarkan alur kronologi kasus tersebut, tidak tertutup kemungkinan ada aktor lain yang menyuruh melakukan tindakan percobaan pembunuhan itu. “Namun kembali kami tekankan, semua prosesnya kami serahkan ke kepolisian (Polresta Kupang, red) sehingga harapannya kepolisian bisa profesional dalam menangani kasus tersebut,” imbuhnya.*

Koalisi GMKJ-NTT juga menduga, bahwa kekerasan terhadap wartawan FPL dilakukan secara sistematis dan terencana serta melibatkan banyak pihak. Tujuannya adalah membungkam korban untuk tidak lagi memberitakan deviden Rp 1,6 Milyar PD Flobamor.

Peristiwa tersebut juga telah mencederai kemerdekaan pers dan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers), yang menyatakan bahwa _Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara_. Padahal dalam melaksanakan profesinya, wartawan seharusnya mendapatkan perlindungan dari berbagai pelanggaran serta gugatan hukum, sebagaimana dalam Pasal 8 UU Pers yang menyatakan bahwa _dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum_.

Bahwa apabila ada orang atau sekelompok orang yang melakukan tindakan, baik itu berupa ancaman maupun dengan menggunakan kekerasan guna menghambat atau menghalangi wartawan dalam melaksanakan tugas profesinya, maka sepatutnya pula dihukum dengan menggunakan Pasal 18 ayat (1) UU Pers.

Koalisi GMKJ-NTT juga menyatakan sikap terkait kasus Percobaan pembunuhan wartawan FPL.

Pertama, mengutuk keras segala bentuk pembungkaman kemerdekaan pers terkhusus di wilayah NTT;

Kedua, mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis, terkhusus bagi korban FPL;

Ketiga, mendesak agar pihak Polres Kupang untuk mengungkap dan menangkap dengan segera semua pelaku yang terlibat dalam kekerasan terhadap jurnalis FPL di NTT;

Keempat, mendesak agar pihak kepolisian juga menggunakan Pasal 18 ayat (1) UU Pers dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Kelima, meminta agar semua pihak, baik itu dari pihak penegak hukum, pemerintah maupun masyarakat luas untuk menghormati serta melindungi segala bentuk aktivitas jurnalistik wartawan.

Keenam, mendesak kepada penegak hukum beserta pemerintah untuk memastikan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Sebagaimana diketahui, wartawan dan Pemred media online www.suara-flobamora.com, FPL mengalami kekerasan (percobaan pembunuhan, red) saat melaksanakan proses peliputan pada 26 April 2022 di gerbang masuk/keluar Kantor PD Flobamor Kota Kupang. Atas peristiwa tersebut, FPL mengalami luka-luka dan sempat dirawat di RS. Bhayangkara Kota Kupang.

Insiden tersebut bermula saat wartawan FPL dan 10 wartawan/media lainnya hadir di Kantor PT. Flobamor pada Selasa (26/04/2022) pukul 09.00 Wita, untuk memenuhi undangan jumpa pers dari Komisaris PT. Flobamor, terkait klarifikasi temuan LHP BPK RI tentang deviden PT. Flobamor Tahun 2019 dan 2020 senilai Rp 1,6 Milyar, yang diduga tidak disetorkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT. Temuan BPK RI tersebut sebelumnya telah diberitakan oleh beberapa media di NTT.

Proses jumpa pers baru terlaksana pada pukul 10.00 Wita yang dihadiri oleh Adrianus Bokotei selaku Dirut PT. Flobamor, Abner Runpah Ataupah selaku Direktur Operasional, Dr.Samuel Haning, S.H.,MH sebagai Komisaris Utama serta Hadi Jawas selaku Komisaris PT.Flobamor. Namun jalannya jumpa pers sempat diwarnai debat panas antara para wartawan dengan pihak perusahaan.

Perdebatan tersebut bermula saat pihak dari perusahaan meminta kepada wartawan untuk memberikan bukti terkait pemberitaan mereka sebelumnya sekaitan dengan deviden PT. Flobamor Tahun 2019 dan 2020 senilai Rp 1,6 Milyar. Namun dibalas oleh para wartawan, termasuk korban FPL dengan menyatakan bahwa data tersebut berasal dari data BPK RI yang bisa diakses melalui laman websitenya.

Seusai jumpa pers, FPL dan tim wartawan pun pulang. Sesampainya di parkiran, terdengar ada suara panggilan dari Oknum PT. Flobamor kepada wartawan FPL untuk kembali ke dalam ruangan guna mengambil sesuatu, yang menurutnya adalah amplop, namun ditolak FPL. Sikap korban FPL tersebut kemudian memicu peristiwa yang lain. Saat korban FPL pulang mengendarai motornya dengan membonceng salah seorang rekan wartawan lainnya, terdapat 6 (enam) orang dengan wajah bermasker dan mengenakan jaket dengan penutup kepala (dan lain menggunakan helm) sedang berdiri menunggu di depan gerbang masuk Kantor PT. FLobamor.

Dua orang diantara mereka berjalan cepat mendahului 4 orang lainnya, maju mendekati wartawan FPL dan langsung menyerangnya dengan memukul wajahnya dan menendang hingga terjatuh bersama sepeda motor yang dikendarainya. Lalu diikuti 4 orang lainnya dengan hantaman batu di dada dan kepala. Wartawan FPL saat itu dalam posisi memakai helm sehingga hantaman benda keras tersebut menyebabkan helm yang digunakannya pecah.

Salah seorang dari para penyerang itu sempat mengeluarkan pisau dan hendak menikam korban FPL, namun karena sang wartawan yang dibonceng FPL berteriak minta tolong kepada beberapa wartawan lain yang kebetulan masih ada bersama di situ, maka datanglah salah seorang wartawan dengan tripot kamera ditangan mencoba menghalangi aksinya. Sehingga menyebabkan 6 (enam) orang tersebut kabur meninggalkan lokasi.

Seusai peristiwa tersebut, kasus inipun telah dilaporkan ke kepolisian Resort Kupang Kota dan saat ini sebanyak lima dari enam pelaku telah diamankan polisi. Empat pelaku diamankan di Kalimantan Timur, satu pelaku di Kupang dan sisa satunya lagi masih buron. (SN/TIM)

Kategori
Berita Kriminal Nasional

Polres Malaka Didesak Selesaikan Kasus Bupati Malaka vs Wartawan Sakunar Menurut UU Pers

Spiritnesia.Com, JAKARTA – Organisasi Media Independen Online (MIO) Indonesia mendesak Kepolisian Resort (Polres) Malaka untuk mengembalikan kasus laporan Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, S.H., MH terhadap wartawan media online Sakunar.Com, YGS terkait pemberitaan medianya pada bulan Februari 2022 lalu ke ranah Undang-Undang (UU) Pers.

Demikian pernyataan tertulis Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIO, Frans Xaverius Watu yang diterima tim media ini pada Senin (11/04/2022).

“Undang-undang Nomor 40 tentang pers sudah mengatur dengan jelas. Kemudian dipertegas lagi dengan MoU atau Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri. Maka sangatlah tidak elok jika polisi (Polres Malaka, red) melangkahi itu. Sehingga, kami minta, sekali lagi kami minta, supaya Kapolres Malaka dan jajarannya harus jeli melihat ini. Kembalikan ini ke ranah undang-undang Pers. Jangan paksakan dengan undang-undang lain”, tulisnya.

Menurutnya, sangat jelas bahwa yang dilaporkan Bupati Malaka itu bukanlah YGS sebagai pribadi melainkan YGS sebagai Wartawan media online Sakunar. Obyek yang dilaporkan juga adalah pemberitaan di media online sakunar.com/produk jurnalistik media yang berbadan hukum sesuai ketentuan UU Nomor 40 tentang Pokok pers. Maka, sehingga Polres Malaka tidak bisa mengabaikan Undang-Undang Pers kemudian menerapkan UU ITE.

“Kami minta aparat penegak hukum, dalam hal ini Kapolres Malaka dan jajajarannya yang menangani laporan tersebut harus profesional dan jeli melihat persoalan ini. Masa wartawan yang dilaporkan karena pemberitaan di media berbadan hukum, tapi penanganannya dengan undang-undang ITE? yang benar saja”, ujarnya kesal.

Frans minta aparat Polres Malaka tidak terjebak dalam skenario pelapor (Bupati Malaka, red) yang diduga kuat sedang berupaya untuk membungkam dan mengkriminalisasi pers di Kabupaten Malaka. Apalagi, antara Dewan Pers dan Polri sudah ada kesepakatan soal penanganan sengketa pers.

“Sangat disayangkan bila anggota Polri (Penyidik Polres Malaka, red) melangkahi nota kesepahaman tersebut (MoU Dewan Pers dan Polri Nomor 2 Tahun 2017, red). Sehingga, kami minta, sekali lagi kami minta, supaya Kapolres Malaka dan jajarannya harus jeli melihat ini. Kembalikan ini ke ranah undang-undang Pers. Jangan paksakan dengan undang-undang lain”, tegasnya. (Sn/tim)

Kategori
Berita Daerah

Pidanakan Wartawan, Bupati Malaka dan PH Disuruh Belajar Lagi Tentang Hukum dan UU Pers

Spiritnesia.Com, KUPANG – Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, S.H., MH dan Kuasa Hukumnya, Silvester Nahak, S.H dan Wilfridus Son Lau, S.H.,M.H, red disuruh belajar lagi tentang Hukum dan Undang-Undang Pers.

Demikian pernyataan Ketua Komunitas Wartawan Peduli Pembangunan (Kowappem), Fabian Paulus Latuan pada Rabu (30/03/2022) menanggapi pernyataan penasehat hukum Bupati Malaka, SN (via sejumlah media online) yang mengatakan bahwa laporannya terhadap wartawan media Sakunar.Com, YGS adalah murni tindak pidana/delik pidana penyebaran berita bohong (hoax).

“Yang saya tahu, Bupati Malaka dan Pengacaranya itu orang-orang yang mengerti hukum, sarjana hukum, master hukum, bahkan doktor hukum, kok nggak ngerti tentang lex spesialis dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Ini nggak ngerti apa pura-pura nggak ngerti. Kalau masih belum mengerti tentang lex spesialis dan Undang-Undang Pers, belajar lagi lah supaya bisa membedakan antara delik pidana dan delik Pers,” tegasnya.

Menurut Fabian, masalah yang dilaporkan Bupati Malaka melalui pengacaranya adalah delik pers murni. “Yang dilaporkan ke Polres Malaka adalah produk jurnalistik/berita yang ditulis wartawan Sakunar.Com, YGS. Kalau berita yang ditulis oleh wartawan dan ditayangkan oleh media yang resmi (berbadan hukum dan bekerja sesuai undang-undang pers dan KEJ, red), maka itu adalah delik pers,” paparnya.

Bupati Malaka dan PH-nya, kata Fabian, harus bisa membedakan antara delik pidana dan delik pers. “Ngerti nggak tentang lex specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus yang mengesampingkan hukum yang bersifat umum, red)? Jadi, undang-undang pers adalah undang-undang pers adalah undang-undang khusus yang mengatur tentang kerja jurnalistik dan produk jurnalistik. Sehingga ketika ada masalah yang berkaitan dengan kerja jurnalistik dan produk jurnalistik, maka undang-undang yang dipakai adalah undang-undang pers,” tandasnya.

Sedangkan, lanjut Fabian, KUH Pidana dan Undang-undang ITE adalah undang-undang yang bersifat umum. “Jadi jangan paksakan masalah atau delik pers diproses dengan undang-undang yang bersifat umum. Kan ada undang-undang khusus tentang pers nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang kerja jurnalis dan produk jurnalistik serta penyelesaian sengketa/delik pers. Jadi Bupati dan PH luruskan dulu pemahaman hukumnya. Jangan asal bunyi!” kritiknya.

Jurnalis senior ini juga menyatakan kekecewaannya terhadap pemberitaan sejumlah media yang menggiring opini terkait laporan Bupati Malaka tersebut sebagai delik pidana murni. “Saya sangat kecewa ada wartawan, pemred atau media yang memberitakan sengketa/delik pers sebagai delik pidana. Berprofesi sebagai pekerja jurnalistik, tapi tidak paham undang-undang pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Kalau wartawan baru sih, mungkin kita masih bisa maklumi. Tapi kalau seorang Pemred (Pemimpin Redaksi) tidak paham undang-undang pers dan KEJ, ini konyol, mau dibawah kemana staf redaksinya? Ini konyol, tidak pantas jadi Pemred. Ini namanya kecelakaan jurnalistik akibat Pemred karbitan yang tidak mau belajar tentang undang-undang pers dan KEJ,” kritiknya lagi.

Lebih lanjut, Fabian mengingatkan para pekerja jurnalistik (wartawan) untuk menjaga marwah profesi wartawan. “Jangan sampai hanya karena iming-iming kerja sama dengan Pemda, lalu menghianati profesimu sendiri. Wartawan itu Watch Dog (anjing penjaga, red) bukan burung beo,” ujarnya sinis.

Seperti diberitakan sebelumnya (29/03/2022), Komunitas Wartawan Peduli Pembangunan (KOWAPPEM) Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak (SN), S.H.,MH untuk tidak mengkriminalisasi pers dengan melaporkan wartawan/jurnalis dan atau media ke Polisi terkait pemberitaan. Kerja wartawan/aktifitas jurnalistik atau media dilindungi undang-undang pers nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta MoU Dewan Pers antara Dewan Pers (DP) dengan Polri (Nomor 2/DP//MoU/II/2017 Tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Jika Bupati SN merasa dirugikan terkait pemberitaan media atau wartawan, maka harus menempuh mekanisme undang-undang pers dan KEJ. bukan langsung mempidanakan wartawan/media, red) apalagi menggunakan undang-undang ITE. Penyidik Polres Malaka juga diminta untuk pahami undang-undang pers dan MoU antara Dewan Pers (DP) dengan Polri, sehingga tidak memproses pidana wartawan mengikuti desakan atau kemauan sang Bupati. (SN.AT/tim)