Kategori
Berita Daerah Opini

Masyarakat Jangan ‘Digoreng’ Opini Menyesatkan Tentang Kasus MTN PT.  SNP Rp 50 M Bank NTT

O P I N I
Oleh : Marsel Nagus Ahang, SH.  (Ketua Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM)

Mengutip pemberitaan media online “Bank NTT Tetap Pada Pendirian, Kerugian MTN Rp 50 Milyar Itu Resiko Bisnis – Koran Timor”

Spiritnesia.Com, KUPANG – Bank Pemerintahan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Bank NTT masih tetap pada pendirian tegas, bahwa kasus kerugian akibat pembelian Surat Berharga berupa Medium Term Notes (MTN) senilai Rp 50 Milyar dengan nilai coupon rate Rp 10,5 Milyar dari PT. SNP adalah resiko bisnis atau Business Judgement Rule.

Demikian salah satu point kesimpulan/klarifikasi Bank NTT melalui Kuasa Hukumnya, Apolos Djara Bunga, S.H dalam rilis tertulis yang diperoleh tim media ini pada Selasa (14/05/2022) terkait kasus MTN Rp 50 Milyar Bank NTT.

“Bahwa dari Rapat umum pemegang saham PT. BPD NTT menyatakan bahwa transaksi MTN senilai Rp 50.000.00.000,- (lima puluh miliar) dianggap resiko bisnis,” tulisnya.

Menurutnya, transaksi MTN senilai Rp 50.000.000.000,- (Lima Puluh Milyar) tidak saja terjadi pada bank NTT, tetapi terjadi juga pada Bank umum lainnya dalam jumlah yang cukup besar dan hal ini dianggap sebagai resiko bisnis. “MTN senilai Rp 50.000.00.000,- (lima puluh milyar) dianggap resiko bisnis,” tegasnya.

Djara Bunga juga menjelaskan, bahwa sebelum melakukan transaksi pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP, sebelumnya bank NTT sudah melakukan uji tuntas (Due Diligence) terhadap PT. SNP Finance sesuai keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor : Kep-412/BL/2010 Tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.

“Bahwa kedudukan hukum PT. SNP Finance adalah Legal, maka dalam proses pengembalian uang Rp 53.120.833.333,- (Lima Puluh Tiga Miliar Seratus Dua Puluh Juta Delapan Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Rupiah) tercatat di Bundel Pailit yang ada pada Tim Kurator,” imbuhnya.

Bank NTT, lanjutnya, sejak Tahun 2011 telah melakukan transaksi Surat Berharga sesuai dengan ketentuan yang ada pada Bank NTT, sama halnya transaksi dengan PT. SNP Finance sesuai prosedur, metode dan cara yang sama PT. BPD NTT telah mendapatkan keuntungan kurang lebilh Rp 1.000.000.000.000,- (Satu Triliun Rupiah). Dan baru pada tahun 2018 terjadi resiko bisnis dengan PT. SNP Finance senilai Rp 50.000.000.000,- (Lima Puluh Milyar Rupiah);

MEMBACA berita tentang pernyataan Bank NTT melalui pengacaranya seperti dikutip di atas, saya tersenyum sendiri. Saya melihat ada sejumlah fakta yang sengaja ditutup-tutupi. Bahkan sengaja dialihkan alias ‘digoreng’ dari masalah yang sebenarnya. Pertanyaannya, Siapa yang mau ‘digoreng’? Dan siapa yang menggoreng opini liat yang menyesatkan?

Namun apapun penjelasan pihak Dirut Bank NTT melalui Kuasa Hukumnya, Apolos Djara Bonga, S.H perlu diapresiasi oleh masyarakat sebagai bentuk upaya meng-clear-kan banyaknya dugaan perbuatan melawan hukum di bank yang sangat kita cintai ini. Tetapi sayangnya klarifikasi ini menunjukan ketidakpahaman yang bersangkutan terhadap substansi dari masalah pembelian MTN itu sendiri.

Mari kita bedah bersama-sama pernyataan kuasa hukum bank NTT yang menurut saya tidak sesuai dengan fakta yang tercantum dalam LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 sebagai berikut :

FAKTA PERTAMA

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 pada Halaman 30 secara jelas menyebutkan PT. Bank NTT menelaah atas usulan pembelian  MTN VI SNP tahap I Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Kasubdiv Domestik dan International dan Dealer yang disetujui oleh Kepala Divisi Treasury pada tanggal 06 Maret 2018;

Bahwa berdasarkan Fakta pertama ini maka ketentuan Pasal 97 ayat 5 UU 40 Tahun 2007 tentang BJR ini tidak dapat diterapkan karena perbuatan pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI melainkan KEPUTUSAN KEPALA DIVISI. Kepala Divisi yang menjabat saat itu adalah Sdr. Harry Alexander Riwu Kaho yang saat ini menjadi Direktur Utama Bank NTT;

Bahwa berdasarkan informasi pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) tersebut juga tidak disetujui oleh Direktur Utama Bank NTT saat itu yaitu Bapak EDI BRIA SERAN, oleh karena itu sudah sangat jelas dan terang benderang bahwa ini adalah BUKAN MERUPAKAN KEPUTUSAN DIREKSI sehingga tidak relevan lagi dan tidak dapat diterapkan argumentasi Business Judgment Rule (BJR) tersebut.

FAKTA KEDUA

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :

Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, atau due diligence atau uji tuntas.

Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.

• Pembelian MTN Tidak Nasuk dalam Rencana Bisnis PT. Bank NTT Tahun 2018

Selain itu PT. Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk   mengetahui   alamat   kantor   dan   mengenal   lebih   jauh   atas pengurus/manajemen PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT. SNP baru terjadi setelah PT. SNP mengalami permasalahan gagal bayar.

Pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT. SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT. SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.

PT. Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.

• Tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Layanan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).
Bahwa dalam fakta kedua ini berdasarkan temuan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut maka sudah sangat jelas dan terang benderang pembelian MTN yang mengakibatkan kerugian Bank NTT tersebut dilakukan penuh dengan KELALAIAN DAN TIDAK HATI-HATI sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat 5 undang-undang no 40 Tahun 2007 tentang BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) SEHINGGA TIDAK BISA DITERAPKAN.

FAKTA KETIGA

Bahwa peristiwa hukum yang sama dengan subjek hukum yang berbeda yaitu pembelian MTN PT. SNP oleh Bank SUMUT telah dituntut oleh Kejaksaan Tinggi Medan atas nama terdakwa Maulana Akhyar Lubis (Kepala Divisi Treasury) dengan Tuntutan selama 19 tahun penjara dan kemudian divonis oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dengan putusan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana selama 10 tahun.

Bahwa putusan Pengadilan Tipikor Medan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN;

Bahwa jika Kejaksaan Tinggi Medan mampu menyelesaikan Kasus ini kenapa Kejaksaan Tinggi NTT tidak mampu padahal sudah ada Yurisprudensinya, dan ini merupakan peristiwa hukum yang sama.

• Aturan Yang Dilanggar :

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Bagian Ketiga pada Pasal 13 ayat 1 yang menyatakan “Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga”;

b.  Peraturan Bank Indonesia nomor 19/10/Pbi/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank pada Pasal 16 ayat 1.b yang menyatakan Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data dan informasi paling sedikit “nama korporasi, bentuk badan hukum atau badan usaha, tempat dan tanggal pendirian, nomor izin usaha, alamat tempat kedudukan, jenis bidang usaha atau kegiatan, nomor telepon, nama pengurus, nama pemegang saham, dan data dan informasi identitas orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Korporasi;

c. Surat Keputusan Direksi Nomor 43 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Bidang Treasury PT. BPD NTT pada BAB III tentang Wewenang Penempatan (Placing) Dana dan Peminjaman (Borrowing) Dana antar Bank, huruf A tentang kriteria penempatan dana angka 4 menyatakan “Pada Pihak ketiga bukan Bank, wajib dianalisis secara mendalam baik kondisi kinerja keuangan maupun Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dengan limit maksimum Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah)”;

d.  Surat Keputusan Direksi PT Bank NTT Nomor 18 Tahun 2017 tanggal 28 Februari 2017 tentang Pedoman Operasional Kebijakan Treasury berupa SOP Kebijakan Divisi treasury Bab III tentang Tata Kerja Treasury;

1) Nomor  3.2.1.a  yang  menyatakan  tugas  Kepala  Divisi  Treasury  “Bertugas melakukan koordinasi, pengarahan dan mengawasi pelaksanaan penyusunan pedoman pengaturan likuiditas bank dan pelaksanaan pengaturan likuiditas, baik di kantor pusat maupun kantor cabang sehingga tercipta pengelolaan yang aman dan menguntungkan bagi bank; dan

2) Nomor 3.4.1 yang menyatakan tanggung jawab Kepala Divisi Treasury “bertanggungjawab atas kepatuhan terhadap batasan kewenangan dan ketentuan- ketentuan yang berlaku atas transaksi yang dilakukan oleh divisinya.

e. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Nomor 12 /Pojk.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1:

1) Ayat 11 yang menyatakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang selanjutnya disingkat CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh PJK untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC;

2) Ayat 12 yang menyatakan Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang selanjutnya disingkat EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah, yang berisiko tinggi termasuk PEP dan/atau dalam area berisiko tinggi;

• Pembelian MTN Tidak Terdapat dalam Rencana Bisnis Bank Melanggar  :
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5 /POJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis Bank Bab II tentang cakupan rencana bisnis pasal 11 Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f paling sedikit meliputi:

1) Rencana penghimpunan dana pihak ketiga
2) Rencana penerbitan surat berharga
3) Rencana pendanaan lainnya.

f. PT. SNP Mengalami Kesulitan Keuangan dan Gagal Bayar atas MTN.

1) Rating PT. SNP menurun secara drastis.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membekukan kegiatan usaha PT. SNP tanggal 18 Mei 2018. Pendapatan kupon MTN pertama yang semestinya diterima PT. Bank NTT pada tanggal 22 Juni 2018 (bunga dibayarkan setiap 3 bulan), mengalami penundaan pembayaran bunga.

2) PT. SNP Diputuskan Pailit
Pada tanggal 9 Mei 2018 Pefindo kembali melakukan siaran pers terkait penurunan credit profile/rating PT SNP dari peringkat “idCCC” menjadi “idSD” (selective default) yang menandakan obligor gagal membayar satu atau lebih kewajiban finansialnya yang jatuh tempo, baik atas kewajiban yang telah diperingkat atau tidak diperingkat.

Posisi keuangan PT. SNP terus mengalami penurunan yang terlihat dari fasilitas kredit PT. SNP pada Bank Mandiri menjadi kredit bermasalah (kolektibilitas 3) pada tanggal 1 Mei 2018 dan SNP Finance mengajukan permohonan pailit pada tanggal 02 Mei 2018 melalui Pengadilan Niaga pada Negeri Jakarta Pusat yang dikabulkan oleh PN Jakpus pada tanggal 4 Mei 2018.

Otoritas Jasa Keuangan sesuai surat nomor SP 34/DHMS/OJK/V/2018 telah membekukan kegiatan usaha PT SNP Pada tanggal 18 Mei 2018, dimana PT SNP telah dikenakan sanksi peringatan pertama hingga peringatan ketiga karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 53 POJK 29/2014 yang menyatakan bahwa “Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak benar yang dapat merugikan kepentingan debitur, kreditur, dan pemangku kepentingan termasuk OJK”.

• Proses Hapus Buku

PT. Bank NTT melakukan proses hapus buku MTN dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) MTN pada tanggal 31 Oktober 2018 senilai Rp7,62 miliar. Selanjutnya mengajukan surat persetujuan SOP Hapus Buku Surat Berharga kepada Dewan Komisaris PT. Bank NTT dengan surat Direktur Pemasaran Dana Nomor 605/DIR-DTs/XII/2018 tanggal 21 Desember 2018 yang setujui oleh Komisaris Utama melalui surat nomor 134/DK Bank NTT/XII/2018 tanggal 26 Desember 2018.

Divisi treasury PT Bank NTT mengusulkan penghapusbukuan Surat Berharga MTN PT SNP pada tanggal 28 Desember 2018 dengan membentuk CKPN kedua senilai Rp42.372.533.584,00 yang disetujui oleh Direksi PT Bank NTT dengan Surat Keputusan nomor 147 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Penghapus Bukuan Surat berharga Tahun Buku 2018 atas MTN PT.SNP senilai  Rp 50 miliar.

• Atas pelanggaran tersebut BPK Merekomendasikan 2 hal yakni :

a. Dewan  Komisaris  dalam  RUPS  agar  meminta  Jajaran  Direksi  PT  Bank  NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp50.000.000.000, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan

b. Direktur Utama agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer,Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.

• Pernyataan kuasa hukum bank NTT tidak sesuai dengan fakta yang tercantum dalam LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020.

LHP BPK tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan BPK sesuai UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan :

Pasal 1
Menyebutkan bahwa “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2
BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pasal 6 ayat (1)
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Pasal 10 Ayat (1)
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

• Pernyataan terhadap kerugian Negara adalah bagian dari tugas dan kewenangan BPK sesuai :
Pasal 11
BPK dapat memberikan:
a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;

b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau;

c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.

Apa yang saya paparkan sejak awal merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri oleh siapa pun.  Dengan demikian, Opini yang berkembang di masyarakat tentang kasus Bank NTT tidak dimaksudkan untuk menyerang/merendahkan martabat oknum pejabat atau Bank NTT sebagai lembaga.

Tetapi sebaliknya, merupakan bukti rasa cinta atas bank kebanggaan masyarakat NTT dan keinginan kuat agar Bank NTT ‘dibersihkan’ dari oknum pejabat yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum yang telah merugikan keuangan dan perekonomian Negara dan masyarakat serta mengganggu system perbankan nasional dan daerah.

Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat pembaca pada umumnya agar tidak terbawa arus atau ‘ digoreng’ oleh opini liar yang menyesatkan tentang kasus Gagal Bayar MTN PT. SNP dengan total nilai Rp 60,5 Milyar. (*)