Kategori
Berita Daerah

Proses Kasus MTN Rp 50 M Bank NTT, Kejati Tunggu Penelusuran Aliran Dana oleh PPATK

Spiritnesia.Com, KUPANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini masih menunggu laporan hasil penyelidikan/penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang aliran transaksi keuangan terkait kasus kerugian keuangan negara/daerah akibat pembelian MTN Rp 50 Milyar bank NTT pada PT. SNP.

Demikian penjelasan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Hutama Wisnu, S.H.,MH melalui Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H., MH saat ditemui tim media pada pekan lalu (30/03/2022).

“Mengenai MTN itu sampai sekarang masih menunggu laporan dari PPATK. Itu kalau tidak salah sekitar 16 rekening yang disuruh lacak. Yang sudah keluar cuma 6 atau 7 rekening. Pokoknya di bawah 10 lah. Nah ini yang sementara PPATK bekerja karena 1 rekening itu bisa makan waktu berapa lama,” ungkapnya.

Menurutnya, lambatnya proses penanganan kasus MTN Rp 50 Milyar oleh Kejati NTT karena penelusuran atau pelacakan sejumlah rekening yang diduga merupakan arah aliran uang pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT membutuhkan waktu yang lama. “Hambatan selama ini di PPATK karena buku rekening itu masih dianalisis, mau 5 huruf pun tercatat itu, nah itu dilihat semua,” tegasnya.

Abdul juga mengungkapkan, bahwa kasus MTN Rp 50 Milyar sudah diexpos (gelar perkara, red) diinternal Kejati NTT sebelum Kajati lama (Dr. Yulianto, S.H.,MH) pindah atau meninggalkan NTT.

“Expos interen saja untuk menentukan bagaimana kasus ini (MTN Rp 50 Milyar, red) apa masih mau dilanjut lagi atau stop? Disampaikan hambatan-hambatannya. Ya pasti lanjut terus. Tapi kalau keputusan lanjut, bagaimana?” tandasnya.

Menurutnya, Kejati NTT masih mendalami untuk memastikan apakah kasus MTN Rp 50 Milyar masuk pidana perbankan ataukah pidana khusus (korupsi/kerugian negara, red). “Bahwa ini susah pembuktiannya, atau mungkin ada tersangkut dengan perkara pidana lain bukan pidana khusus, kan bisa saja. Undang-undang perbankan ada. Beda tipis kaya penipuan dan penggelapan ini,” jelasnya.

Abdul Hakim mengakui, bahwa kemungkinan kasus MTN Rp 50 Milyar masuk dalam kerugian keuangan negara, tetapi juga butuh disertai bukti-bukti yang kuat dan akurat. “Betul kerugian negara, tapi kita kan nggak tahu resiko bisnisnya berapa? Platform bank Rp 100 Milyar? Rp 200 Milyar? Rp 50 Milyar? atau Rp 10 Milyar aja? Resiko bisnisnya. Karena jangan sampai oke terbukti (kerugian keuangan negara, red), tetapi jika tidak terbukti di Mahkamah Agung? Maka itu kita cek, gitu aja,” katanya.

Ia menjelaskan, bahwa jika kasus MTN Rp 50 Milyar jatuh pada pidana perbankan, maka ranah penyelesaiannya oleh Polri bukan Kejaksaan. “Ada aturannya nggak yang dia langgar? Kalau tidak ada aturannya berarti urusan Polri. Bisa saja ke undang-undang perbankan, masalah kerugiannya dikembalikan ke Negara. Kalau bukan aturan perbankan yang dia langgar, itu bisa langsung cepat sekali sudah (ditangani Kejati NTT, red),” tegasnya.

Abdul Hakim mengungkapkan, bahwa Kejati NTT sangat berhati-hati menangani kasus MTN Rp 50 Milyar bank NTT, karena Kejati NTT harus memastikan kasus tersebut pidana khusus ataukah pidana perbankan . “Memang betul kerugian negara, tapi ada aturan perbankan yang dilanggar nggak? Perbankan seluruhnya dan perbankan Bank NTT ada nggak aturannya?” tandasnya.

Menurutnya, jelas bahwa dunia perbankan memiliki aturan dan Standart Operational Procedure), tetapi terkait MTN Rp 50 Milyar tidak ada SOP. “Dan yang lebih jelas aturan perbankan dan SOP-nya ada semua. MTN kan belum ada. Kalau ada aturan yang dilanggar itu jelas, tidak perlu tunggu-tunggu lagi,” ungkapnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, proses penyelidikan kasus Medium Term Note (MTN) yang merugikan keuangan Bank NTT senilai Rp 60,5 M (berdasarkan LHP BPK RI, red) oleh Kejati NTT belum menunjukan progres yang berarti. Bahkan proses penyelidikan kasus Fraud (kecurangan perbankan, red) ini terkesan ‘tenggelam’ di Kejati NTT.

Para pegiat anti korupsi terus mendesak Kejati NTT untuk mempercepat proses hukum kasus yang merugikan Bank NTT hingga Rp 60,5 M. Mantan Kajati NTT, Yulianto sempat berjanji untuk mempercepat proses hukum kasus tersebut dengan melakukan ekspose/gelar perkara.

Berdasarkan LHP BPK RI Tahun 2019, setidaknya ada 7 pelanggaran yg dilakukan dalam proses pencairan dana untuk pembelian MTN (Surat Pengakuan Hutang PT. SNP), yakni :
• Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :
1. Pembelian MTN tersebut tidak dilakukan uji kelayakan atau Due Diligence;
2. Pembelian MTN tersebut tidak masuk dalam RBB (Rencana Bisnis Bank) tahun 2018;
3. Tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal Pengurus PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus baru dilakukan setelah PT SNP mengalami gagal bayar MTN.
4. Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT. Bank NTT belum memiliki pedoman pembelian dan batas nilai pembelian MTN.
5. Tidak melakukan telaah terhadap laporan keuangan audited PT. SNP tahun 2017 tapi hanya berpatokan pada peringkatan yang dilakukan PT Pefindo tanpa memperhatikan press realease PT Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan hanya berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 PT. SNP yang belum diaudit. Dengan demikian, mitigagasi terhadap resiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik;
6. Tidak melakukan konfirmasi kepada Bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan penolakan tersebut. Konfirmasi hanya dilakukan kepada bank yang melakukan pembelian MTN PT. SNP;
7. Tidak memperhatikan Kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK. (SN01/tim)