Spiritnesia.Com, Jakarta – Kekerasan fisik dan verbal yang sering diperhadapkan terhadap penggiat anti korupsi dan jurnalis di NTT merupakan strategi untuk membungkam peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi di NTT. Termasuk dengan cara-cara intimidatif yang dimainkan oleh pihak yang berkepentingan dengan kroni-kroni dalam kekuasaan.
Tipologi korupsi di NTT sudah terbangun dengan pola saling menyandera untuk saling melindungi. Oleh karena itu, ketika ada tindakan kekerasan terhadap wartawan dan pegiat anti korupsi, Fabi Latuan yang kritis terhadap KKN di lingkaran dalam kekuasaan, maka sulit rasanya pelaku diungkap tuntas secara hukum.
Ini juga semakin memperlihatkan sebuah fenomema, dimana korupsi di lingkaran pusat kekuasaan tidak boleh dikontrol atas nama dan dalam bentuk apapun. Dan jika coba-coba dikontrol, akan berhadapan dengan cara kekerasan. Dan kekerasan itu akan menjadi berita menarik untuk menutup isu korupsi yang sedang disorot.
Upaya Pengalihan Isu Korupsi
Gambaran pembungkaman terhadap peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, terutama pegiat anti korupsi dan wartawan nampak jelas dari lambannya Polisi melakukan tindakan kepolisian di TKP. Terutama mengungkap siapa saja pelaku dan dalangnya. Jangan sampai publik hanya dijanjikan sekedar pemanis di bibir.
Di lihat dari locus dan tempus delictinya, maka peristiwa penganiayaan atau percobaan pembunuhan yang menimpa Jurnalis Fabi Latuan di halaman Kantor PD Flobamor, usai mengikuti jumpa pers pada 26/4/2022 dengan jajaran Direksi dan Komisaris PD Flobamor diduga terhubung materi klarifikasi dugaan korupsi itu sendiri.
Karena yang mengklarifikasi isu korupsi terkait LHP BPK RI tentang Deviden Rp1,6 milyar PD Flobamor yang disebut-sebut tidak disetor ke Pemprov NTT adalah Direksi dan Komisaris. Karena itu, Direksi dan Komisaris PD Flobamor pun harus diproses untuk dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau setidak-tidaknya memulihkan hak-hak Fabi Latuan.
PD Flobamor Harus Melindungi
Peristiwa nahas menimpa wartawan Fabi Latuan usai mengikuti klarifikasi dari PD Flobamor saat hendak keluar dari area parkir PD Flobamor. Ia dianiaya oleh sekelompok orang bercadar hingga babak belur tanpa diketahui siapa pelakunya.
Padahal Wartawan Fabi Latuan sebagai pihak yang mengkonstatir dugaan korupsi dana deviden PD Flobamor Rp 1,6 Milyar untuk Pemprov NTT, kemudian diundang untuk mendapatkan klarifikasi. Menurut UU, Fabi Latuan harus mendapat perlindungan hukum, karena melakukan peran serta dalam mengungkap dugaan korupsi.
Apa yang dialami Fabi Latuan cerminan sikap sebagian Penyelenggara Negara yang anti terhadap kontrol publik, lantas menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan ladang korupsi. Ini juga pertanda setiap rezim yang berkuasa pola korupsinya ikut berubah bahkan bermetamorfosa termasuk cara mengamankan korupsi.
Karena itu, kasus Fabi Latuan menjadi ujian bagi Kapolda NTT, Irjen Pol Setyo Budiyanto yang mantan adalah Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Apakah memilih mendahulukan penyidikan penganiayaan dan mengesampingkan kasus dugaan korupsinya atau kedua-duanya harus diungkap, mengingat dua-duanya penting dan harus dicari benang merahnya. Apakah terkait aktivitas Fabi Latuan sebagai pegiat anti korupsi atau tidak.
Karena itu, Kapolda NTT, Irjen Pol Setyo Budiyanto harus tampil elegan memastikan apakah ada korupsi di PD Flobamor. Jika saja ya, maka harus dicari apakah penganiayaan ini adalah bagian dari upaya pihak tertentu untuk menghalangi pengungkapan korupsi secara dini.
Publik sudah mengultimatum Polda NTT untuk segera mengungkap identitas pelaku dan intelektual dadernya dan segera menangkapnya. Jika tidak, maka Polisi bisa dinilai sebagai bagian dari penggunaan kekuatan untuk mempertahankan pola korupsi yang ada di NTT, yaitu saling menyandera untuk saling melindungi.
Petrus Selestinus, S.H., MH, Koordinator TPDI & ADVOKAT PERADI