Spiritnesia.Com, KUPANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) bungkam/’tutup Mulut’ alias enggan bicara jujur dan terbuka terkait progres proses hukum 3 (tiga) kasus besar Bank NTT, yakni 1) Pembelian MTN Rp 50 Milyar; 2) Kredit fiktif Bank NTT Cabang Waingapu, Sumba Timur Rp 2,6 Milyar; 3) Kasus kredit macet bank NTT Cabang Surabaya senilai Rp 126,5 Milyar, red), khususnya keterlibatan Direktur Pemasaran Kredit, AS dan Kadiv Kredit, BRP. Kejati NTT juga tak berani memberikan keterangan terkait kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) Jaksa Kundrat Mantolas, SH.,MH dan Kontraktor PT. Sari Karya Murni (SKM), Hironimus Taolin (HT). Kejati NTT bahkan diduga sedang melindungi para pihak yang diduga terlibat dan bertanggungjawab dalam kasus-kasus tersebut oleh karena tekanan politik dan kekuasaan.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Hutama Wisnu, S.H.,MH dan Wakajati NTT, Agus Sahat, S.T. Lumban Gaol yang hendak ditemui wartawan tim media ini pada Kamis (24/03/2022) pukul 11.30 Wita hingga pukul 16.15 Wita di kantor Kejati NTT untuk diwawancarai terkait progress proses hukum kasus-kasus tersebut, terkesan menghindari wartawan. Sementara Kasipenkum Kejati NTT, Abdul Hakim, S.H.,MH, juga tidak berhasil ditemui tim wartawan media saat itu, karena menurut informasi pegawai Kejati NTT saat itu, Abdul sedang menjalani masa cuti.
Tim wartawan media hanya berhasil bertemu Kepala Seksi Intelejen (Kasi Intel) Kejati NTT, Yoni Esau Mallaka yang katanya ditugaskan Kajati dan Wakajati NTT saat itu untuk bertemu wartawan dan mencatat semua pertanyaan konfirmasi wartawan/media.
Awal kedatangan tim media pada pukul 11.30 Wita disambut staf kantor Kejati NTT dan wartawan melaporkan maksud kedatangan mereka ke kantor Kejati NTT. Sesudah itu, oleh salah seorang pegawai, wartawan media diarahkan menunggu di ruang layanan pengaduan. Lalu Ia melaporkan tujuan kedatangan wartawan ke pimpinan.
Sekitar pukul 12.00 Wita, Kajati NTT, Hutama Wisnu melalui Kasi Intel, Yoni Esau Mallaka bertemu dengan tim wartawan untuk mencatat sejumlah pertanyaan konfirmasi wartawan terkait progres penanganan 3 kasus Bank NTT dan kasus OTT Jaksa KM dan Kontraktor PT. SKM, HT.
Kasi Intel, Yoni E. Mallaka seusai mencatat sejumlah pertanyaan terkait kasus-kasus tersebut, meminta tim wartawan media untuk tetap menunggunya sebentar agar Ia melaporkan dan mengkonsultasikan pertanyaan wartawan media dengan Kajati dan Wakajati NTT serta (mengkonfirmasi, red) pihak jaksa atau jaksa penyidik yang menangani langsung kasus-kasus tersebut untuk mendapatkan informasi progres penanganan kasus-kasus tersebut.
Pada pukul 14.30 Wita, oleh karena saking lamanya menunggu, tim wartawan pamit untuk keluar makan siang. Dan pada pukul 15.30 Wita, tim media kembali lagi ke Kantor Kejati NTT untuk menunggu hasil konsultasi dan konfirmasi Kasidik Yoni E.Mallaka, namun hingga pukul 16.00 Wita, Kasi Intel tak kunjung muncul dengan hasil petunjuk atau penjelasan dari pihak Kejati NTT terkait progres penanganan kasus-kasus tersebut.
Baru dipukul 16.15 Wita, saat tim wartawan media ini memutuskan untuk meninggalkan kantor Kejati NTT, Kasi Intel Kejati NTT, Yoni E. Malaka muncul dengan informasi bahwa sampai detik ini (saat itu, red), belum ada petunjuk dari Kajati NTT, Hutama Wisnu maupun Wakajati NTT, Agus Sahat, S.T. Lumban Gaol serta jaksa penyidik yang menangani langsung kasus-kasus tersebut.
“Besok atau dua hari ke depan nanti kalau sudah ada petunjuk dari pak Kajati dan penyidik (Jaksa Penyidik, red) yang menangani kasus-kasus yang teman-teman tanyakan, baru saya informasikan untuk teman-teman datang dan kami jelaskan,” jelasnya.
Namun hingga berita ini ditayangkan, Senin (28/3/22) siang, belum ada informasi dari pihak Kejati NTT.
Berikut Kasus Yang Dikonfirmasi Media
1. Kasus dugaan Kredit Fiktif Bank NTT Cabang Waingapu tahun 2009.
Kasus dugaan kredit fiktif bank NTT Cabang Waingapu tahun 2009 dengan nilai kerugian Rp 1 Milyar dari total Rp 2,6 Milyar menyeret nama Harry Alexander Riwu Kaho, SH, MM (Dirut Bank NTT saat ini, red) dan P. Steven Mesakh (Direktur Kredit Bank NTT) yang pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam penyaluran kredit Bank NTT Cabang Waingapu kepada 20 orang anggota Gapoktan Fiktif tahun 2009. Kemudian penyidikan perkara ini dihentikan (di-SP3, red), dengan alasan karena PT. Ade Agro Industri (Tjahjadi) telah melunasi seluruh hutang 20 orang petani yang diduga fiktif baik pokok, bunga dan denda. Pelunasan tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Penghentian penyidikan oleh Kajari Waingapu diduga tidak sesuai Pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Kasus Pembelian MTN Rp 50 Milyar Bank NTT dari PT. SNP
Kasus ini juga melibatkan Aleks Riwu Kaho (Dirut Bank NTT saat ini, red), yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Treasury Bank NTT saat itu. Ia diduga melakukan tindakan ketidakhati-hatian dan penyalahgunaan kewenangan yang sama yakni melakukan investasi yang tidak prudent (tidak dapat dipercaya) pada PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) tanpa persetujuan Direksi dan tanpa due diligent, sehingga telah merugikan keuangan negara dalam Bank NTT senilai Rp 50 Milyar dan potensi Pendapatan Kupon Rate yang tidak diterima senilai Rp 10,5 Milyar.
Aleks Riwu Kaho diduga kuat bertanggung jawab atas kerugian akibat Pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP, karena secara prinsip, Aleks Riwu Kaho yang saat itu menjabat Kepala Divisi treasury tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan pembelian tersebut. Kewenangan untuk memutuskan ada pada Direksi Bank NTT bukan Kepala Divisi Treasury.
Berikut tujuh pelanggaran yang dilakukan dalam pembelian MTN:
1. Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, due diligence atau uji tuntas;
2. Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.
3. Pembelian MTN tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018.
4. Selain itu PT Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT SNP baru terjadi setelah PT SNP mengalami permasalahan gagal bayar.
5. Pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.
6. PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.
7. Tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Laporan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).
3. Kasus Kredit Macet Cabang Surabaya senilai Rp 126,5 Milyar, khusus tidak diprosesnya AS dan DL.
Progres penyelesaian kasus tersebut dinilai ironis, karena tidak menjangkau semua pihak yang diduga turut terlibat dalam proses pemberian kredit tersebut, yakni Absalom Sine (Direktur Pemasaran Kredit saat itu, red) sebagai penanggung jawab tertinggi dan Beni R Pellu (Kepala Divisi Pemasaran Kredit saat itu, red).
Padahal, keduanya dinilai terlibat langsung dalam pengambil keputusan dalam Pemberian Fasilitas Kredit kepada Enam Debitur yang Terafiliasi dengan Stefanus Sulaiman pada PT Bank NTT KC Surabaya dengan Baki Debet per 30 Oktober 2019 Senilai Rp 126.536.358.357,32 Tidak Prudent, Tanpa Jaminan yang diikat, Terindikasi Digunakan Referal, Tidak Sesuai Peruntukan dan Berpotensi Merugikan PT Bank NTT. Padahal Kepala Cabang Surabaya dan Terdakwa lainnya telah menjalani putusan pengadilan.
Dalam vonis hakim terhadap para terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Kupang yang dipimpin oleh Dju Jhonson Mira Mangngi, SH, MH didampingi hakim anggota, Ari Prabowo dan Ibnu Kholiq dalam putusannya menegaskan bahwa Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit Bank NTT Kantor Pusat dan Benny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit Bank NTT Kantor Pusat yang pada saat itu merupakan para pejabat pemutus 2/3 kredit tertinggi dalam proses pemberian fasilitas kredit modal kerja pada Bank NTT Cabang Surabaya, haruslah ikut bertanggung jawab atau patut dimintai pertanggungjawaban hukumnya.
Kedua, Kutipan Putusan Nomor 31/Pid.Sus-TPK/2020/PN Kpg Hal 146 menyebutkan keterlibatan langsung Beny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit pada tanggal 28 Desember 2018 bertempat di Bank NTT Kantor Pusat di Kota Kupang menyetujui usulan analis kredit dan HGLB Komersil dengan memberikan pendapat/keputusan didalam lembaran disposisi tertanggal 28 Desember 2018;
Sementara itu, Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit Bank NTT Kantor Pusat selaku pejabat pemutus tertinggi untuk plafon kredit dengan nilai diatas Rp 10 Milyar sampai dengan Rp 50 Milyar, setelah menerima berkas permohonan kredit CV. MM. Linen Indonesia, menyetujui permohonan kredit tersebut dengan memperhatikan profil perusahaan dan keuangan dari CV. MM Linen Indonesia, yang sejak awal telah disusun dengan data- data tidak benar, dengan maksud meningkatkan bonafiditas perusahaan.
Lalu pertimbangan hukum hakim dalam putusan atas nama terdakwa Didakus Leba, meruntuhkan pernyataan mantan Kajati NTT (Dr. Yulianto) yang sebelumnya berulang kali menegaskan tentang tidak adanya keterlibatan Absalom Sine dalam kasus Korupsi Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja Bank NTT Cabang Surabaya tahun 2018.
Dilain sisi, pertimbangan hukum hakim dalam putusan atas terdakwa Didakus Leba juga mempertegas dugaan bahwa Kejati NTT terkesan menutupi keterlibatan Absalom Sine. Bahkan keberadaan istri dari Absalom Sine yakni Jaksa HM di Kejati NTT juga diduga menjadi penghambat bagi Kejati NTT untuk menjerat Absalom Sine selaku tersangka dalam kasus dimaksud. Hingga saat ini pihak Kejati NTT tidak memproses hukum Absalom Sine dan Beby R. Pellu.
4. Kasus OTT Jaksa Kundrat Mantolas dan Kontraktor PT. SKM
Kasus ini bermula dari OTT Satgas 53 Kejaksaan Agung terhadap Kasidik Kejati NTT, Kundrat Mantolas, S.H.,MH dan Direktur PT. SKM, HT di rumah HT pada Desember 2022 lalu. Perkiraan dugaan nilai pemerasan atau suap dalam kasus tersebut mencapai kurang lebih Rp 2 Milyar.
Kasus ini juga terkesan ironi bagi penegakan hukum di Indonesia, karena Jaksa KM hanya diberi sanksi administratif berupa bebas tugas selama 12 bulan, tanpa diproses pidana. Sementara HT, Direktur PT. SKM yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi dalam monopoli sejumlah proyek pengerjaan jalan di NTT telah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik Kejati NTT, tetapi dibiarkan saja berkeliaran tanpa proses hukum.
Kumudian berkembang dugaan bahwa Kejati NTT ada di bawah tekanan politik petinggi partai politik tertentu dan kekuasaan untuk tidak memproses pidana; baik Jaksa KM maupun HT sang kontraktor. Hal ini menyebabkan keluhan sejumlah pihak di wilayah TTU, karena sang kontraktor (HT) merasa besar kepala dilindungi politisi. Bahkan ‘bernyanyi’ dimana-mana telah mengamankan kasusnya di Kejati NTT. (Sn.at/tim)