Dok; Andreas Eka, Mahasiswa Tingkat II IFTK Ledelero
Sebuah Tinjaun Kritis atas Kedudukan Perempuan
Oleh: Andreas Eka
Spiritnesia.com, Maumere – Eksistensi kaum perempuan telah menjadi tema hangat yang dibincangkan oleh banyak pihak. Kaum perempuan tidak hanya menjadi isu yang santer diperbincangkan di tengah masyarakat umum. Kaum perempuan juga didiskusikan dan diperdebatkan secara serius di kalangan intelektual, para akademisi, kaum cendekiawan, dan terutama para pemerhati kaum perempuan. Hal ini pada galibnya disebabkan oleh banyaknya masalah yang menimpah kaum perempuan. Masalah yang umumnya dihadapi oleh kaum perempuan adalah ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender disebabkan oleh konstruksi budaya yang cenderung membenarkan tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Dalam sejarah, konstruksi budaya sangat jarang berpihak terhadap kaum perempuan. Konstruksi budaya lebih banyak memihak dan memberi keuntungan kepada kaum pria. Kaum pria selalu dianggap dan dilihat sebagai mahkluk yang superior sedangkan perempuan selalu dipersepsi sebagai pihak yang inferior. Karena dianggap inferior, kaum perempuan sering kali mengalami marginalisasi, diskriminasi, serta dikenai stereotip-stereotip negatif yang merendahkan martabat kaum perempuan. Kendatipun mencederai kesetaraan gender yang mengedepankan keadilan sosial, praktik-praktik ini pada umumnya tetap dipertahankan karena dianggap sebagai konstruksi ideal yang mampu menjaga stabilitas dalam kehidupan masyarakat.[1]
Pemahaman seperti ini pada umumnya melekat erat dalam lingkungan masyarakat yang menerapkan sistem patriarkat. Dalam kemasan budaya partiarkat, diskriminasi terhadap kaum perempuan sering tidak disadari atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang normal. Konsekuensinya, eksistensi perempuan berada dalam kungkungan kemapanan budaya partiarkat. Budaya partiarkat seolah-olah menjadi sebuah tuntutan etis yang melegitimasi semua bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan hanya dipandang mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara, namun mereka tidak dapat menerapkan hak yang sama itu.[2] Pemahaman yang dibangun oleh ideologi partiarki seperti ini menciptakan dikotomi publik dan privat. Privat merujuk pada posisi dan peran perempuan yang berada pada ranah domestik sementara publik merujuk pada posisi dan peran laki-laki yang berada ranah publik. Karena dianggap lebih rasional, kaum laki-laki lebih memiliki kedudukan tertinggi dalam ruang publik dan mempunyai kewenangan lebih untuk mengambil keputusan berkaitan dengan dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara. Laki-laki dianggap sebagai pihak yang dapat mewakili dan menyuarakan kepentingan perempuan.[3] Hal ini menyebabkan perempuan seringkali mengalami situasi keterpojokan dalam pengambilan keputusan di ruang publik.
Ideologi partiarki telah membangun dunia tersendiri bagi perempuan yang dapat mengerucut pada pemisahan yang keras antara perempuan dan ruang publik. Manifestasi ketidakadilan gender ini dalam sejarah peradaban dunia masih ada dalam kehidupan masyarakat. Perempuan kerap kali tidak mendapat pengakuan dari kaum laki-laki dengan pertimbangan kaum perempuan dianggap sebagai orang lemah, tak rasional, tak berdaya dan kelas dua (second class). Ornert, dalam satu esainya yang berjudul belief and the problem of women sebagaimana dikutip oleh Henrietta Moore, menegaskan subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan sesuatu yang universal. Lebih lanjut Moore menganalogikan wanita dengan alam sedangkan pria dengan kebudayaan. Sebagaimana kebudayaan mengontrol dan menguasai alam, maka kaum pria secara alami pula dapat mengontrol dan menguasai kaum perempuan.[4] Dalam hal ini, perempuan kerap kali mendapat stereotip-stereotip yang menempatkan posisi mereka terpenjara dalam urusan domestik. Peran mereka dalam ranah publik juga jarang diakui dan diapresiasi secara penuh.
Sistem budaya patriarkat yang kuat berkontribusi terhadap pembentukan bias gender yang menyebabkan kaum perempuan mengalami kesenjangan sosial. Kesenjangan itu diperparah oleh sebuah tindakan dominasi laki-laki atas perempuan yang mendiskreditkan peran dan posisi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti pertama, perempuan memiliki peluang yang sangat minim dan terbatas dalam mengakses pekerjaan di sektor publik serta sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, dan modal kerja. Kedua, perempuan mengalami ketidakadilan pembagian kerja karena hanya ditempatkan di sektor domestik, sedangkan pekerjaan di ranah publik didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, penghasilan perempuan dalam keluarga masih dianggap sebagai penghasilan tambahan atau cadangan walaupun dapat mencukupi kebutuhan keluarga.[5] Bentuk-bentuk kesenjangan tersebut menghalangi perempuan untuk mengembangkan diri dan mencapai cita-cita hidupnya. Kaum perempuan menjadi kaum yang terbungkam karena tidak mendapat peranan publik yang sesuai dengan kapasitas mereka.
Sejarah peradapan masyarakat Manggarai pun tidak pernah luput dari praktek ketidakadilan dan subordinasi terhadap kaum perempuan. Dalam konsep kehidupan masyarakat Manggarai, yang utama dan penting dalam diri kaum perempuan adalah pengabdian kepada suami dan keluarga. Jadi, dalam masyarakat Manggarai, posisi kaum perempuan dianggap sebagai warga kelas dua dan eksistensi mereka bergantung pada kaum laki-laki sebagai pencari nafkah dan seringkali mereka tidak diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Fakta ini membuktikan bahwa secara faktual posisi kaum perempuan dalam masyarakat Manggarai itu mati karena kaum perempuan dianggap sebagi kaum yang lemah dan tak berdaya ketika berhadapan dengan benturan-benturan keras yang di produksi oleh budaya yang dianut masyarakat Manggarai hingga saat ini. Produksi budaya yang dianut oleh masyarakat Manggarai secara tidak langsung menyepelekan hakikat mereka sebagai makhluk yang kalah bersaing dalam kompetensi kehidupan ini. Hal terbukti dengan praktek budaya patriarkat dalam tradisi hidup masyarakat Manggarai, semisalnya menguatnya dominasi kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarkat dapat melanggengkan pelbagai bentuk tindakan kekerasan domestik dan pembagian pekerjaan yang tidak adil dalam ruang publik. Hal ini mau menegaskan praktik budaya patriarkat dalam masyarakat Manggarai sangat memprihatinkan terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Perempuan akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia bermoral dan berbudi luhur.
Metode penelitian
Penelitian ini mengggunakan pendekatan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data dari buku, jurnal, dan internet sebagai acuan penulisan. Pendekatan ini menjadi dasar kajian teoritis dan referensial terkait budaya, nilai, dan norma dalam penelitian. Lebih jauh, analisis data difokuskan pada studi kasus kedudukan perempuan dalam patriakat masayarakat Manggarai. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dideskripsikan dan disimpulkan untuk menghasilkan temuan penelitian.
Sekilas Tentang Perempuan dan Budaya Patriarkat
Perempuan
Perempuan merupakan sosok atau figur utama sebagai pengantar seseorang masuk dalam kehidupan. Selain itu, perempuan merupakan mitra kaum laki-laki yang diciptakan dengan kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum pria, memiliki hak dan kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum pria dan berhak memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas seperti yang dilakukan kaum laki-laki.[6] Sehingga, pantaslah setiap orang mengakui keagungan seorang perempuan. Namun, seriring berjalannya waktu konsepsi tentang perempuan mulai berubah dan keagungan perempuan dinodai. Pergeseran konsepsi tentang perempuan ini berawal dari pandangan para ahli dan pandangan masyarakat tradsional mengenai konstruksi budaya patriarkat yang lebih menekankan dominasi laki-laki atas perempuan.[7] Dalam budaya patriarkat, perempuan dianggap sebagai gadis-gadis yang tak berdaya atau boneka, bungkusan nafsu dan godaan.[8] Melihat kenyataan ini, munculah pertanyaan siapakah sebenarnya kaum perempuan itu?
Secara etimologis, Perempuan berasal dari kata “empu “ yang memiliki arti tuan atau ahli, seorang yang paling berkuasa.[9] Sebuah posisi yang mencerminkan keberadaan perempuan dan laki-laki adalah sama-sama sederajat dalam penurunan generasi berikutnya. Perempuan adalah “yang di- empu-kan” (empu artinya induk atau ahli). Sehingga secara tersirat berarti penghormatan. Bertolak dari kenyataan ini perempuan adalah makhluk yang perlu mendapat penghargaan dan penghormatan karena perempuan merupakan pribadi dilahirkan yang merdeka, bermartabat, mempunyai kesamaan hak dan dikarunia akal dan hati nurani yang sama.
Budaya Patriarkat
Kebanyakan kebudayaan lokal di Indonesia menganut sistem patriarkat. Secara etimologis, kata patriarkat berasal dari bahasa latin, yaitu, pater artinya bapa dan arche yang berarti asal, awal mula, sumber utama yang menentukan kekuasaan. Patriarkat merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasi, mendiskreditkan dan mengontrol kaum perempuan atas badannya, seksualitasnya, pekerjaanya, statusnya, peranannya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.[10] Dalam konteks tersebut, konsep patriarkat kini cendrung dipandang bermasalah. Istilah patriarkat mendeskripsikan sebuah sistem di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.[11] Dengan demikian, patriarkat adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.
Kemudian, dalam pengertian lain patriarkat adalah konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan studi referensi feminitas ke distribusi kekuasaaan antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan, hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam hubungan sosial, partispasi dalam status publik dan politik atau agama atau atribusi dari pelbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual. Pada dasarnya budaya patriarkat merupakan sebuah konsep hidup yang mengatur tentang sumber kekuasaan atau penentu kehidupan dalam sebuah keluarga dan masyarakat. Dalam budaya ini ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan keluarga. Budaya patriarkat secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirearki gender.
Perempuan dan Budaya Patriarkat dalam Kebudayaan Manggarai
Kebudayaaan Manggarai yang merupakan salah satu kebudayaan yang terdapat di Indosesia juga turut menghidupi produksi budaya partiakat dan mempraktekan budaya yang di anut dari masyarakat tradisional dalam prosesi kehidupan masyarakat Manggarai hingga saat ini. Produksi budaya partiakat yang di anut oleh masyarakat manggarai saat ini menjadi topik yang menarik dan aktual untuk di kaji karena kaum perempuan selalu di pandang sebagai obyek dan bukannya sebagai subyek yang otonom. Ada konsep dan pandangan yang keliru tentang kaum perempuan di mana kaum perempuan sering kali di anggap sebagai pelayan laki-laki dalam segala aspek kehidupan manusia.
Kemudian, dalam tatatran normatifnya budaya patriarkat dalam kebudayaan Manggarai, kaum perempuan tidak lagi dihargai dan diperlakukan setara sebagai ciptaan Tuhan tetapi direndahkan dan diremehkan menjadi makhluk subordirnat. Antara laki-laki dan perempuan terbentang alur polarisasi yang bertendensi ekstrim. Benteng patriarkat ini telah melindungi kepentingan laki-laki sekaligus memapankan praktik-praktik ketidakadilan terhadap kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan manusia. Manifestasi ketidakadilan terhadap kaum perempuan tersebut dapat ditemukan dalam pelbagai kasus berikut ini.
Pertama, dalam kehidupan rumah tangga. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan selalu mendapat tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Tindakan kekerasan ini dilatarbekangi oleh sebuah konsep dan stereotip yang berkembang dalam masyarakat bahwa perempuan (istri) di anggap sebagai pelayan laki-laki sekaligus mendedikasikan diri pada urusan merawat anak dan dapur. Dengan demikian, apabila segala keinginan laki-laki (suami) tidak terpenuhi maka perempuan wajib menanggung resiko sebagai konsekuensi negatifnya.
Kedua, bidang pendidikan. Dalam kebudayaaan Manggarai, kendatipun anggapan ini perlahan-lahan mulai tenggelam dalam tradisi kehidupan masyarakat Manggarai tetapi masih ada segelintir masyarakat Manggarai yang mengganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah karena pada akhirnya nanti tetap kembali ke dapur. Selain itu, ada anggapan populer dalam masyarakat Manggarai bahwa setinggi-tingginya jenjang pendidikan dari perempuan (istri) tetapi keberadaaanya dalam rumah tangga masih di bawah kendali dan kuasa laki-laki (suami).
Ketiga, dalam kehidupan ekonomi. Meskipun perempuan Manggarai bekerja dari pagi sampai sore hari, tetapi dengan asumsi gender peran mereka hanya di anggap sebagai pencari nafkah tambahan karena perempuan di anggap sebagai kaum lemah dan tak berdaya serta penghasilan yang mereka dapatkan tidak hanya dinikmati oleh mereka sendiri tetapi dinikmati oleh suami untuk kepentingan pribadinya semisal modal untuk membeli rokok, minuman keras (moke) dan bermain judi. Keempat, kehidupan politik. Adanya anggapan dalam masyarakat Manggarai bahwa perempuan itu emosional dan irasional dalam berpikir maka perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang tidak strategis. Ketidakseimbangan peran perempuan menjadi pemimpin, pengambilan keputusan dan kebijakan menyebabkan mereka menanggung banyak beban dalam hidupnya. Kelima, urusan adat. Kasus yang menjadi titik sentral dalam pembicaraan urusan adat ini ialah pembagian hak warisan. Dalam hal pembagian warisan perempuan tidak mendapat jatah warisan dari keluarga. Perempuan di anggap sebagai ata peang (orang luar) dalam keluarga. Dengan demikian, mereka tidak layak mendapatkan jatah warisan dari keluarga.
Dengan demikian, budaya patriarkat dalam kebudayaan Manggarai masih menempatkan perempuan sebagai makhluk yang seakan nomor dua secara kodrati (second class). Perempuan di anggap sebagai makhluk yang lemah, tak berdaya, pasrah dan emosional. Sementara laki-laki adalah manusia kuat, berani, gagah perkasa dan rasional. Pandangan semacam ini tertanam kuat dalam budaya patriarkat
Penutup
Menguatnya praktik budaya patriarkat dalam masyarakat Manggarai membuat keberadaan atau kedudukan perempuan semakin direndahkan dan kedudukan laki-laki semakin ditinggikan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi karena budaya patriarkat cendrung menekankan dominasi laki-laki atas perempuan. Akibatnya, laki-laki menguasai perempuan sehingga menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban dalam kehidupan sosial. Buah dari budaya patriarkat dalam masyarakat adalah perbedaan kedudukan, aktivitas dan partisipasi antara kaum laki-laki dan perempuan. kemudian, dari semua produksi budaya patriarkat yang ada akibatnya kaum perempuan terbelenggu dalam kekuasaan laki-laki dan tidak bisa mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Singkatnya, stereotip dan konsepsi yang tidak seimbang tentang perempuan telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan dalam bentangan sejarah manusia yang didominasi oleh kaum pria.
