Penjualan Garam Curah Kabupaten Sabu Raijua Dilakukan Tanpa Dokumen Penjualan Sesuai SAP

Spiritnesia.com, KUPANG – Penjualan garam curah oleh Dinas PMPTSP Perindag Kabupaten Sabu Raijua (Sarai) dilakukan tanpa dokumen penjualan sesuai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Juga ditemukan oleh BPK RI, adanya piutang penjualan garam curah dari produksi tambak garam milik pemerintah pada tahun 2018 senilai Rp 1,6 Milyar.

Hal itu diungkapkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaannya Nomor: 43.b/LHP/XIX.KUP/06/2029, tertanggal 24 Juni 2019 atas Sistem Pengendalian Internal terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Sabu Raijua.

BPK RI menjelaskan, bahwa berdasarkan keterangan dari Kepala Bidang Perdagangan, diketahui bahwa dalam melakukan penjualan garam curah dengan pembeli, hasil kesepakatan jumlah volume dan harga satuan garam curah hanya secara lisan, dan tidak dituangkan dalam surat perjanjian jual-beli. Dokumen terkait penjualan yang ada hanya Nota pengambilan garam. Namun dalam nota tersebut, tidak mencantumkan harga/nilai transaksi jual beli.

“Saat pembeli melakukan pembayaran, Bendahara Penerima akan memberikan kuitansi bukti pembayaran kepada pembeli garam berdasarkan informasi jumlah volume dan harga satuan garam dari Kepala Dinas Perdangan atau dari pembeli,” beber BPK.

Catatan lain dari BPK RI terkait pengelolaan produksi dan penjualan serta persediaan garam Pemkab Kabupaten Sabu Raijua yakni pencatatan piutang penjualan garam tidak tertib. Dinas PMPTSP Perindag menyajikan nilai piutang penjualan garam curah sebesar Rp 1.656.200.000.

“Nilai piutang tersebut berdasarkan surat tagihan yang diterbitkan oleh Kepala Dinas PMPTSP Perindag kepada tiga orang pembeli garam curah yang belum melakukan pembayaran. Nilai piutang tersebut tidak berdasarkan catatan piutang karena Dinas Perdagangan Kabupaten Sabu Raijua tidak melakukan pencatatan penjualan garam curah dan piutang penjualan tahun 2018,” ungkap BPK RI.

Berdasarkan pemeriksaan BPK RI diketahui adanya piutang/tagihan penjualan garam curah Pemkab Sabu Raijua, yakni kepada: 1) Saudara YA senilai Rp 1.441.200.000; Saudara YKB senilai Rp 96.000.000; dan Saudara FL senilai Rp 119.000.000.

Dari pemeriksaan BPK RI atas dokumen pembayaran atas penjualan garam curah, diketahui terdapat penjualan senilai Rp. 676.000.000,00 yang disetor dua kali pada tanggal 8 Februari 2019. Setoran tersebut merupakan pembayaran dari penjualan garam curah yang diambil pada tanggal 5, 12 Oktober, 17 dan 21 Nopember 2018. Dalam neraca per 31 Desember 2018 (unaudited), penjualan tersebut tidak dicatat sebagai piutang penjualan. Terhadap piutang tersebut telah dilakukan koreksi menambah saldo piutang.

Menurut BPK RI, kondisi tersebut mengakibatkan; persediaan garam curah per 31 Desember 2018 belum dapat diyakini kewajarannya; piutang atas penjualan garam tidak didukung dokumen jual beli yang sah sehingga berpotensi tidak tertagih,
Kondisi tersebut disebabkan oleh;

a) Kepala Dinas PMPTSP Perindag Sabu Raijua belum menetapkan unit khusus pengelola garam dan prosedur standar operasional/SOP terkait tata kelola produksi dan penjualan garam, serta penatausahaan pencatatan biaya produksi dan piutang penjualan garam;

b) Kepala Bidang Perindustrian Dinas PMPTSP Perindag tidak cermat dalam melakukan penatausahaan terkait biaya produksi dan pengamanan persediaan garam dan;

c) Kepala Bidang Perindustrian Dinas PMPTSP Perindag tidak cermat dalam penatausahaan penjualan dan piutang penjualan garam. Atas dasar tersebut Plt. Kepala BIdang Perindustrian Dinas PMPTSP Perindag Kabupaten Sabu Raijua sependapat dengan temuan BPK.

Terhadap temuan tersebut, BPK RI pun merekomendasikan kepada Bupati Sabu Raijua agar menginstruksikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP, Perindustrian dan Perdagangan untuk: a) menetapkan unit khusus pengelola garam dan prosedur standar operasional/SOP terkait tata kelola produksi dan penjualan garam, serta penatausahaan pencatatan biaya produksi dan piutang penjualan garam; dan b) memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Bidang Perindustrian dan Bidang Perdagangan agar lebih cermat dalam penatausahaan penjualan dan piutang penjualan garam.

Seperti diberitakan sebelumnya (20/06), BPK RI temukan sejumlah masalah terkait pengelolaan puluhan tambak garam di Kabupaten Sabu Raijua, akibat tidak tertibnya pengelolaan tambak tersebut oleh Dinas Penanaman Modal Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sabu Raijua.

Hal itu tertuang dalam hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Nomor: 43.b/LHP/XIX.KUP/06/2029, tertanggal 24 Juni 2019.

Masalah yang disebut BPK RI dalam LHP tersebut antara lain: tidak adanya organisasi khusus yang mengelola garam garam curah yang diproduksi dari tambak garam. Selain itu, perhitungan nilai persediaan garam tidak sesuai standar akuntansi pemerintah. Juga terdapat 51 ton garam yang dikuasai pihak lain dan penjualan garam tidak disertai dokumen yang sah. Berikut, pencatatan piutang penjualan garam tidak tertib.

Pertama, soal tidak adanya organisasi khusus pengelola tambak garam. Dinas PMPTSP Perindag Kabupaten Sabu Raijua langsung mengelola kegiatan produksi, pengamanan persediaan, penjualan dan penatausahaan piutang tidak dilakukan oleh unit khusus, namun melekat pada tupoksi bidang- bidang Dinas PMPTSP dan Perindag.

Produksi dan penyimpanan persediaan garam curah dilaksanakan oleh Bidang Perindustrian. Sedangkan penjualan garam curah dilakukan oleh Bidang Perdagangan. Lalu untuk pembayaran belanja atas biaya produksi dan keperluan tambak garam, dilakukan oleh bendahara penerimaan Dinas PMPTSP Perindag Kabupaten Sabu Raijua.

Menurut BPK RI, kegiatan produksi garam dikelola oleh Bidang Perindustrian. Proses pencatatan harian atas produksi dan penatausahaan persediaan garam di gudang dilakukan oleh kordinator tambak. Keseluruhan biaya produksi dibebankan pada anggaran belanja DPA Dinas PMPTSP Perindag.

Keseluruhan biaya produksi dimaksud terdiri atas belanja modal, penyiapan lahan dan mesin pompa, dan belanja barang dan jasa, untuk biaya kompensasi biaya lahan tahun, honorarium petani garam, belanja pemeliharaan mesin dan BBM, belanja bahan pendukung seperti karung, jarum dan sebagainya. Realisasi belanja dilaksanakan oleh bendahara pengeluaran.

“Belum ada SOP tertulis yang mengatur tentang prosedur penjualan dan penatausahaan piutang dan penerimaan penjualan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Perdagangan, diketahui bahwa dalam melakukan penjualan, pembeli garam langsung menghubungi Kepala Dinas (Kepala Dinas Perdagangan Sabu Raijua, red) untuk menyepakati volume dan harga garam,” ungkap BPK RI.

Setelah ada kesepakatan verbal, lanjut BPK RI, Bidang Perdagangan menerbitkan nota pengambilan garam, yang berisi informasi nama pemesan, jumlah pesanan, dan tempat pengambilan garam. Lalu pada saat pembeli mengambil garam dari gudang, kordinator tambak menuliskan tanggal pengambilan dan total muatan pada nota pengambilan garam tersebut, dan ditandatangani oleh pemesan garam, kordinator tambak, dan staf dari bidang perdagangan.

“Pembeli melakukan pembayaran melalui bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan selanjutnya menyetor pendapatan dari penjualan garam tersebut ke rekening kas daerah,” tulis BPK.

Kedua, BPK RI juga mengungkapkan, perhitungan nilai persediaan garam curah tidak sesuai SAP (Standar Akuntansi Pemerintah).

Berdasarkan data produksi dan stok persediaan garam tahun 2018, diketahui jumlah produksi garam curah sebanyak 8.168,92 ton, garam curah yang terjual 4.525 ton, garam curah yang digunakan di pabrik yodisasi 55,80 ton dan sisa persediaan akhir 2018 sebanyak 3.588.

“Dinas PMPTSP Perindag tidak dapat menyajikan data persediaan awal garam per 1 Januari 2018. Sedangkan nilai persediaan akhir garam per 31 Desember 2018 adalah senilai Rp 3.347.604.000 yang dihitung berdasarkan sisa persediaan 3.588.000 kg dikalikan harga pokok produksi (HPP) sebesar Rp. 933/kg,” ungkap BPK RI.

Menurut penjelasan Kepala Dinas PMPTSP Perindag, lanjut BPK, penetapan HPP tersebut adalah perkiraan biaya operasional per hektar (tenaga, perawatan alat, bahan bakar, perawatan tambak pasca panen) dibagi dengan potensi penjualan garam curah per hektar dikalikan asumsi harga, sehingga perhitungan HPP adalah Rp 209.940.000/Rp 225.000.000 x Rp 1.000 = Rp 933.

Menurut penjelasan Kepala Bidang Industri, jelas BPK RI, diketahui bahwa belanja yang digunakan untuk memproduksi garam terdiri atas belanja honorarium non-PNS untuk para pekerja tambak yang dilakukan dengan mekanisme belanja langsung. Sedangkan kebutuhan pemeliharaan mesin dan habis pakai, dilakukan dengan cara belanja biasa yang bukti-buktinya disampaikan kepada bendahara pengeluaran.

Bidang industri tidak membuat catatan apapun terkait belanja yang telah dikeluarkan tersebut. Jika diperlukan catatan mengenai jumlah yang telah dikeluarkan, maka harus memilah dahulu dari bukti-bukti pengeluaran yang ada pada bendahara pengeluaran.

Hasil wawancara dengan Bendahara Pengeluaran, diketahui bahwa Bendahara Pengeluaran hanya sekedar membayar tagihan yang dinyatakan dalam kwitansi atau nota pembelian, dan tidak dapat memilah antara belanja pemeliharaan/belanja habis pakai antara keperluan operasional rutin OPD dengan keperluan tambak garam.

“Sampai dengan akhir pemeriksaan, pemeriksa (BPK RI, red) tidak dapat memperoleh rincian maupun dokumen pendukung terkait belanja tersebut. Selain itu, bidang industri juga tidak memiliki catatan sisa persediaan pemeliharaan mesin, bahan bakar, maupun bahan habis pakai lain pada akhir tahun, sehingga perhitungan harga pokok produksi sesuai yang dipersyaratkan SAP tidak dapat dilakukan,” tegas BPK.

Ketiga, dalam LHP BPK terkait pengelolaan tambak garam Kabupaten Sabu Raijua tahun 2018 itu, juga ditemukan persediaan garam sebanyak 51 ton yang dikuasai oleh pihak lain yang belum dicatat. Berdasarkan data piutang penjualan garam curah, diketahui bahwa terdapat piutang penjualan garam kepada sdr. YA senilai Rp 102.000.000 atas penjualan garam sebanyak 51 ton dengan harga Rp 2.000/kg yang diambil pada bulan Juli 2018.

Namun setelah dikonfirmasi BPK, YA menyatakan tidak mengakui pembelian garam curah sebanyak 51 ton tersebut karena tidak terjadi kesepakatan harga. Pengiriman garam dari Tambak Deme ke gudang milik YA tersebut adalah untuk membantu pengelola di tambak garam Deme yang kesulitan menampung persediaan garam karena gudang penyimpanan tidak mampu menampung karena sebagian gudang masih dalam proses pembangunan/perbaikan.

Jika terjadi kesepakatan harga, maka garam tersebut akan dibeli YA, atau Dinas (Dinas Perdagangan Sabu Raijua, red) dapat mengambil kembali garam tersebut dengan mengganti biaya transportasi yang telah dikeluarkan YA. Dengan tidak adanya kesepakatan jual beli tersebut, maka garam sebanyak 51.000 kg tersebut statusnya merupakan Persediaan Dinas Perdagangan Sabu Raijua yang belum dicatat.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) sekaligus Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (BMPTS) Kabupaten Sabu Raijua, Lagabus Pian yang dikonfirmasi tim media ini via pesan WhatssApp/WA pada Kamis, 20 Juni 2024 terkait temuan BPK tersebut mengaku, semua temuan BPK tersebut telah ditindaklanjuti oleh Pemda Sabu Raijua dalam tempo 60 hari pasca temuan BPK RI.

“Semua temuan BPK sdh ditindaklanjuti dalam tempo 60 hari sejak LHP diterima,” tulisnya menjawab wartawan.

Sedangkan terkait adanya kegiatan tambak garam yang dijalankan PT NRI (berdasarkan Kerjasama kontrak lahan dengan masyarakat, red) di lahan bekas Tambak Garam Pemda yang pernah dikelola Pemda Sabu Raijua sejak tahun 2014 hingga tahun 2017, lalu terbengkalai sejak tahun 2018 dan pasca Badai Seroja tahun 2021,

Kadis Lagabus Pian menjelaskan, bahwa Pemda Sabu Raijua saat ini sedang dalam upaya pembahasan kerjasama dengan PT NRI.

“Kerjasama dengan PT NRi dalam proses pembahasan,” tulisnya lagi.

Lalu terkait puluhan Gudang garam yang rusak dan dibiarkan tak diperbaiki hingga hari ini, Kadis DPMPTSP Sabu Raijua itu mengungkapkan, bahwa Pemda Sabu Raijua tetap melakukan perbaikan terhadap Gudang-gudang tersebut secara bertahap, sesuai kemampuan keuangan daerah.

“Tambak dan Gudang semua rusak saat terjadi badai seroja. Pemda melakukan perbaikan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan daerah,” bebernya. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *