Opini : Jude D’ Lorenzo Taolin
(Wartawan NTTHits.com)
Spirirnesia.com, Kasus penganiayaan dua siswa SPN oleh Bripda Torino Tobo Dara kembali membuka luka lama yang belum sembuh dari tubuh kepolisian: praktik pendisiplinan yang melampaui batas, hubungan senior–junior yang kerap dibungkus jargon “pembinaan”, namun pada kenyataannya menjelma jadi agresi yang merusak martabat.
Kronologi yang disampaikan Polda NTT cukup jelas: Bripda Torino kesal karena dua juniornya, KLK dan JSU, kedapatan merokok. Amarah itu kemudian berubah menjadi serangkaian pukulan. Aksi tersebut direkam oleh seorang saksi kunci, Bripda GP, yang kini juga telah diperiksa oleh Propam Polda NTT.
Pemeriksaan medis disebut tidak menemukan luka atau memar, namun publik tahu bahwa kekerasan tidak selalu meninggalkan jejak fisik melainkan ada trauma, rasa takut, dan normalisasi kekerasan yang tak terlihat.
Yang menarik, publik tidak terpancing menciptakan tagar-tagar besar seperti lazimnya kasus nasional lain. Tidak ada #JusticeFor… ataupun #ReformasiPolri trending di Twitter/X. Namun bukan berarti publik diam.
Justru gelombang kritik deras mengalir melalui platform yang video itu pertama kali beredar, yakni Facebook.
Komentar netizen di unggahan viral itu menunjukkan arah kemarahan yang seragam, bukan sekedar soal rokok, tetapi soal mentalitas kekuasaan di lingkungan yang seharusnya menjadi ruang pendidikan, bukan arena intimidasi.
Suara publik tidak membutuhkan tagar untuk menjadi tekanan moral. Video itu sendiri sudah menjadi tagar nya. Komentar-komentar itu sudah menjadi petisinya.
Di sisi lain, Polda NTT bergerak cepat. Propam melakukan interogasi, memeriksa saksi, hingga menempatkan terduga pelanggar pada penanganan internal. Bahkan keluarga korban yang sempat datang menuntut pertanggungjawaban akhirnya “mempercayakan sepenuhnya proses hukum kepada Polda NTT” setelah dialog persuasif.
Ini tentu patut diapresiasi. Namun publik tetap punya hak untuk bertanya: mengapa insiden semacam ini masih terjadi? Karena yang dipersoalkan bukan hanya tindakan Bripda Torino, tetapi kultur yang memungkinkan agresi itu dianggap sebagai bentuk disiplin. Kekerasan tidak lahir dari ruang kosong, ia lahir dari pembiaran yang dipupuk dari generasi ke generasi. Institusi bisa bergerak cepat menangani pelaku, tetapi apakah institusi juga bergerak cepat menangani sumber masalahnya?
Peristiwa ini adalah alarm lain dari deretan panjang kasus yang seharusnya tidak lagi terjadi. Bila pembinaan dicampuradukkan dengan kekerasan, maka kita sedang memelihara bibit-bibit aparat yang kelak membawa luka baik pada warga maupun pada sesama rekan kerja. Polri memiliki amanat besar, yakni menjaga kehormatan seragamnya sendiri.
Masyarakat ingin melihat pembinaan yang humanis, profesional, dan beradab. Generasi muda yang memilih jalur kepolisian ingin dihargai sebagai manusia, bukan objek amarah dalam hierarki yang tak sehat.
Tidak ada institusi yang sempurna, tetapi ada institusi yang belajar.
Kasus ini memberi kesempatan bagi Polda NTT untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sekedar menindak, tetapi juga memperbaiki. Tidak sekedar memadamkan api, tetapi memastikan bara tidak terus dibiarkan membakar dari dalam.
Video itu memang viral, namun yang lebih penting adalah apakah institusi siap menjadikan insiden ini sebagai titik balik.
Dan pada akhirnya, publik hanya menuntut satu hal sederhana:
Bahwa disiplin tidak boleh pernah berubah menjadi kekerasan. Bahwa seragam bukan alasan untuk memukul, tetapi alasan untuk memberi teladan.
