
Oplus_131072
Spiritnesia.com, Ende – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) NTT Kembali ingatkan Pemda Kabupaten Ende betapa pentingnya Memahami sejarah pancasila 1 juni.
DPD GMNI NTT, melalui Sekretaris DPD, Yakobus Madya Sui kepada media ini dalam rilis tertulisnya (Sabtu,24/05/2025).
Yakobus menuliskan bahwa untuk memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2025 perlu memahami asal sejarahnya sebagaimana yang dilontarkan Bung Karno pada Pidato di sidang BUPK 1 Juni agar mengkontekstualkan kegiatan dalam perayaan hari lahir Pancasila tetap berada pada garis panduan yang sebenarnya sehingga tidak terlena dan terjebak pada kegiatan yang sifatnya seremoni belaka apalagi menggunakan politik identitas.
Sebab bung Karnopun berkata janganlah melihat ke masa depan dengan buta mata. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang.
Mengutip dari buku merahnya ajaran bung Karno, artikulasi politik identitas sendiri suatu gerakan sosisal maupun gerakan politik dapat bermakna beragam, pada suatu sisi perjuangan indentitas untuk mendapat pengakuan (struggle for recognition) dalam bentuk politik feminisme, penghormatan terhadap ras, etnis, agama, maupun orientasi seksual dapat tumbuh sebagai politik yang bercorak inklusif dalam kerangka kewargaan demokratik.
Lanjut Yakobus, Bagi bung Karno pendekatan politik identitas cendrung tidak menempatkan efek struktural dari tatanan kapitalisme sebagai problem utama dari berbagai persoalan sosial.
Artikulasi politik identitas yang bercorak populisme kanan atau reaksioner yang muncul dalam bentuk klaim atas universalitas rakyat maupun umat dengan menarik garis persengketaan dengan kalangan yang dianggap sebagai ancaman atau mengganggu stabilitas klaim dominan tersebut. Klaim tersebut secara sadar bersamaan hadir dalam ekspresi memaknai yang berbeda sebagai ancaman, dan cenderung menempatkan posisi yang lebih pada subordinat dirinya dengan corak politik eksklusi dan antagonistik.
Yang kita ketahui politik populisme kanan berkembang melalui tiga dimensi, yaitu: pertama, terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, terkait dengan realitas negara oligarki neoliberal Indonesia yang memfasilitasi kenyamanan hidup dari segelintir kelas dominan dan gagal untuk merangkul mayoritas kelas bawah dan kelas menengah untuk berpartisipasi didalamnya sesuai dengan harapan sosial mereka.
Kedua, ketimpangan sosio- politik, yakni terkait dengan bangunan arsitektur kekuasaan dalam ranah sosial-politik yang disatu sisi mewadahi kepentingan dari aliansi lingkaran oligarki dalam arena politik, namun peran politiknya gagal sebagai penyambung keresahan dan aspirasi dari mayoritas masyarakat kelas menengah dan bawah untuk mengintervensi kenyataan politik.
Ketiga, ketimpangan sosial kultural, terkait dengan belum berhasilnya pembumian kesadaran kewargaan demokrasi-inklusif dalam institusi-institusi pendidikan maupun interaksi publik kita terutama dalam komunikasi di media sosial.
pandangan Sukarno tidak selesai pada dimensi kritis, namun melampaui itu, tujuan dari perjuangannya adalah membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu ketertindasan dan keterjajahan dari sistem dunia kapitalisme-imperialisme.
Dalam refleksi pemikiran maupun praksis politiknya, corak intelektual Sukarno ditempatkan dalam posisi yang berpihak pada pemerdekaan dan pembebasan rakyat yang mengalami proses pemelaratan sosial.
Jika kita baca orasi Sukarno tanpa teks, Sukarno mengutarakan bahwa untuk merumuskan dasar negara serta landasan yang mempertemukan kita semua sebagai sebuah bangsa dalam ikatan persatuan nasional, kita membutuhkan nilai (value). Nilai tersebut adalah meja statis yang mana sebetulnya itu adalah nilai-nilai objektif yang mempertemukan kita sebagai bangsa dalam perjalanan historisnya, baik pada masa sebelum kolonialisme, dimasa kolonialisme, hingga pada gerbang kemerdekaan.
Maka pemaknaan Pancasila sebenarnya sebagai dasar persatuan, bukan persatuan fisik, persatuan karena perbedaan Agama, tetapi persatuan dimana orang-orang benar-benar ingin bersatu sebagai suatu bangsa, kesamaan riwayat suatu bangsa atau rasa akan ketertindasan akibat penghisapan yang dilakukan kapitalisme-imperialisme, rasa memiliki satu wilayah yang dijajah waktu itu, rasa ingin merdeka, rasa ingin menyusun kekuatan mewujudkan sosialisme Indonesia pada jembatan emas kemerdekaan.
Nah apa makna pelurusan sejarah ini agar kita tidak termakan hegemoni arus globalisasi atau liberalisme merombak persatuan dan kesatuan.
Dengan demikian, DPD GMNI NTT mendesak Pemda Ende agar memperhatikan poin-poin ini dalam rangka merayakan hari lahir Pancasila:
1. Mengkonsolidasi dan perlu melibatkan seluruh elemen rakyat terutama kaum marhaen agar sadar akan hak dan kewajibannya sebagai suatu bangsa melawan segala macam bentuk penghisapan dan penindasan melau ifen-ifen yang lebih berdampak luas.
2. Mendesak pemda untuk mencabut surat keputusan Bupati Ende, Nomor 145/ Kep/HK/2025 tentang pembentukan panitia penyelenggara pekan Ende steret Festival (Pesta), Festival Ine Maria Guadalupe dan parade Pancasila tahu 2025 yang memfasilitasi kegiatan rohani dalam perayaan hari lahir pancasila yang termuat pemda Ende menggunakan politik identitas bercorak populisme Sebab agama tidak boleh dimanfaatkan sebagai momen politik tetapi ber-Tuhan adalah ruang privat antara manusia dengan Tuhan yang sakral tidak diperalat kepentingan politik.(Mel/ SN)