
Ketua DPW PII NTT Dr. Ir. Andre W. Koreh, MT, IPM, Asean Eng., (foto SN)
Spiritnesia.com, Kupang – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menyebut masalah pada Jasa Konstruksi (Jakon), tidak masuk kategori tindak Pidana Korupsi alias (Hukuman Kurungan Badan, red), melainkan kasus Perdata.
Demikian disampaikan Ketua DPW PII NTT Dr. Ir. Andre W. Koreh, MT, IPM, Asean Eng., ketika ditemui di ruang kerjanya di Kayu Putih pada Kamis, 04/04/2024.
“Kerusakan pada sebuah bangunan tidak bisa langsung divonis bahwa itu masuk pada tindakan pidana korupsi (Tipikor), karena dalam perjanjian kontrak itu itu semua adalah perjanjian perdata,” jelas Ketua PII NTT.
Perlu diketahui, bahwa Terminologi Kegagalan Konstruksi Bangunan itu tidak bisa ditentukan sembarangan apa lagi sampai diberikan hukuman badan alias divonis (Pidana Korupsi, red).
“Karena berdasarkan undang-undang Jasa Konstruksi Nomor II Tahun 2017, itu tidak ada satu pasal pun yang menyatakan melanggar undang-undang tersebut. Dan Kondisi Kegagalan Bangunan itu hanya bisa ditentukan oleh petugas yang telah ditentukan oleh kementerian PUPR dan itu adalah Ahli,” tandas Andre Koreh.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kerusakan pada sebuah bangunan itu harus melalui penelitian yang diusul langsung dari Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Biasanya itu kalau dalam bahasa para jasa konstruksi disebut Forensic Engineering.
“Forensic Engineering dalam dunia Teknik Sipil itu artinya kegagalan struktur bangunan yang disebabkan oleh kerusakan akibat bencana alam murni (natural disaster) atau kerusakan yang diakibatkan oleh tangan manusia (artificial disaster). Maka untuk menyelamatkan aset-aset tersebut diperlukan seorang ahli teknik yang benar-benar independen untuk dapat membantu dan mengambil keputusan yang benar-benar menguasai dalam bidangnya yang dikenal sebagai Forensic Engineering,” jelas Ketua PII NTT itu dengan tegas.
Lanjut Andre membeberkan bahwa, Forensic Engineering adalah seseorang atau team yang harus sesuai dengan bidangnya seperti teknik struktur, teknik geoteknik, teknik hidro, teknik transportasi dan lain sebagainya yang mampu memberikan saran-saran perbaikan. Karena pada dasarnya bangunan secara alami mengalami penurunan kualitas seiring dengan bertambah usianya, dan ini dapat diartikan dengan berkurangnya tingkat keamanan dan kenyamanan.
“Sehingga dalam penilaian bangunan itu dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan nilai dari suatu bangunan berdasarkan data dan fakta dari pemeriksan visual dan pemeriksaan detail melalui serangkaian tahapan sampai mendapatkan nilai yang ada pada bangunan tersebut dengan menggunakan metode/teori penilaian yang sesuai dengan data dan fakta,” jelas Andre lagi.
Lebih lanjut ia membeberkan bahwa, ada 6 tujuan dari ahli forensic engineer yaitu:
1. Mengamati tempat kejadian setelah terjadinya kegagalan structural
2. Mengumpulkan bukti forensik di lokasi kegagalan struktur
3. Menggunakan pengetahuan ilmiah dan teknik untuk menentukan penyebab kegagalan struktural
4. Mengelola perbaikan atau penggantian infrastruktur
5. Menulis laporan resmi yang mendokumentasikan kegagalan struktural
6.Memberikan analisis risiko di lokasi konstruksi
Sementara itu, lanjut Andre menjelaskan lagi bahwa ada 11 faktor penyebab yang menimbulkan kerusakan pada bangunan antara lain:
1. Faktor umur bangunan
2. Faktor kondisi tanah dan air tanah
3. Faktor angin
4. Faktor gempa
5. Faktor longsor
6. Faktor Petir
7. Faktor kualitas bangunan
8. Faktor kualitas perencanaan
9. Faktor kesalahan perencanaan
10. Faktor perubahan fungsi
11. Faktor kebakaran
Sementara, untuk kerusakan pada bangunan itu ada 3 jenis kerusakan yaitu:
1. Kerusakan arsitektural
2. Kerusakan fungsional
3. Kerusakan struktural
Namun, kata Andre, untuk para pelaku (Kontraktor, red), bisa saja dikenakan hukum badan. Ketika kalau ada indikasi bahwa dalam perencanaan tersebut sudah ada niat maka itu ada Mens rea seperti di mark up.
“Jika ada kejadian seperti itu, maka itu mereka sudah ada niat untuk melebih-lebihkan harga ada niat untuk mengurangi volume ada niat untuk mengurangi kualitas sehingga dengan demikian uang negara yang dipakai tadi dia berindikasi korupsi dan itu bisa ditindak sesuai undang-undang Tipikor,” ucap Andre. (SN)