
Serfina Hoar Klau, M.Pd
Oleh: Serfina Hoar Klau, M.Pd
Spiritnesia.com, Di tengah upaya negara untuk memperkuat sistem keuangan nasional, kebijakan pemblokiran rekening dormant atau rekening tidak aktif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan lembaga perbankan telah menjadi perbincangan publik. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan salah satu langkah strategis dalam mencegah praktik pencucian uang, pendanaan terorisme, dan aktivitas ilegal lainnya. Namun, kebijakan ini juga menuai kontroversi, khususnya di kalangan masyarakat kecil, yang khawatir terhadap implikasi kebijakan ini terhadap hak kepemilikan dan akses keuangan mereka.
Lalu, benarkah pemblokiran rekening dormant adalah solusi mutlak dalam pemberantasan kejahatan keuangan? Atau justru kebijakan ini berpotensi menjadi ancaman baru bagi kelompok rentan di masyarakat?
Rekening Dormant dan Kepentingan Negara dalam Pemberantasan Kejahatan Keuangan
Rekening dormant adalah rekening yang tidak mengalami aktivitas transaksi dalam jangka waktu tertentu, biasanya selama enam bulan hingga satu tahun, tergantung kebijakan masing-masing bank. PPATK memandang bahwa rekening jenis ini berisiko tinggi digunakan oleh pelaku kejahatan keuangan untuk menyembunyikan transaksi mencurigakan. Dalam banyak kasus pencucian uang, rekening yang tampak pasif justru menjadi tempat transit dana ilegal yang sulit dideteksi karena tidak adanya aktivitas reguler.
Sebagai lembaga intelijen keuangan negara, PPATK memiliki mandat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pemblokiran rekening dormant dipandang sebagai salah satu mekanisme yang efektif untuk menghentikan aliran dana mencurigakan, serta mempersempit ruang gerak jaringan kejahatan finansial. Dari perspektif ini, langkah PPATK dapat dimaklumi sebagai bagian dari strategi nasional dalam menjaga integritas sistem keuangan dan stabilitas ekonomi.
Apalagi di era digital saat ini, kejahatan finansial tidak lagi mengenal batas wilayah. Dengan kemajuan teknologi, sindikat kriminal dapat dengan mudah membuka banyak rekening atas nama orang lain, lalu membiarkan rekening tersebut tidak aktif hingga saat diperlukan. Di sinilah pentingnya kontrol ketat terhadap rekening-rekening tidak aktif, guna memastikan bahwa tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berniat jahat.
Dampak Kebijakan terhadap Masyarakat Umum
Meskipun memiliki niat baik, implementasi kebijakan pemblokiran rekening dormant justru menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama mereka yang tidak sepenuhnya memahami fungsi dan status rekening mereka. Di berbagai wilayah, khususnya di daerah-daerah terpencil, masyarakat membuka rekening hanya untuk kebutuhan tertentu, seperti menerima bantuan sosial, gaji, beasiswa, atau keperluan darurat lainnya. Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, rekening tidak lagi digunakan secara aktif. Dalam konteks ini, rekening menjadi dormant bukan karena adanya niat kriminal, melainkan karena keterbatasan akses, edukasi keuangan, atau kebutuhan ekonomi.
Ketika rekening mereka diblokir secara sepihak tanpa pemberitahuan yang memadai, banyak masyarakat merasa kebingungan dan bahkan merasa kehilangan hak mereka atas tabungan yang tersisa. Prosedur untuk membuka kembali rekening pun terkadang tidak mudah, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari kantor cabang bank, tidak memiliki dokumen yang lengkap, atau kurang paham prosedur administrasi perbankan. Kondisi ini tentu menimbulkan ketidakadilan dan memperburuk kesenjangan akses terhadap layanan keuangan formal.
Lebih jauh, kebijakan ini juga berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Ketika masyarakat merasa bahwa rekening mereka bisa dibekukan kapan saja tanpa alasan yang jelas, mereka akan enggan untuk menabung di bank dan memilih menyimpan uang secara konvensional, yang tentu saja tidak aman dan tidak produktif. Padahal, inklusi keuangan menjadi salah satu target utama pembangunan ekonomi Indonesia saat ini.
Antara Keamanan Finansial dan Perlindungan Hak Masyarakat
Kebijakan publik idealnya lahir dari keseimbangan antara kepentingan negara dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Dalam konteks pemblokiran rekening dormant, negara memang berkepentingan untuk menciptakan sistem keuangan yang bersih dari tindak pidana, namun pendekatan yang digunakan juga harus menjunjung tinggi prinsip transparansi, keadilan, dan edukasi publik.
Pertama, proses pemblokiran rekening seharusnya tidak dilakukan secara sepihak tanpa pemberitahuan. Nasabah harus mendapatkan informasi yang cukup, baik melalui surat, pesan singkat, maupun platform digital bank, sebelum rekening mereka diblokir. Informasi ini tidak hanya memberitahukan status rekening, tetapi juga menjelaskan alasan dan prosedur yang dapat ditempuh untuk mengaktifkan kembali rekening tersebut.
Kedua, perlu adanya kategori yang jelas dan sistem yang membedakan antara rekening dormant yang mencurigakan secara transaksi, dan rekening yang tidak aktif karena alasan ekonomi masyarakat. Pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) bisa menjadi solusi, di mana PPATK dan bank tidak serta-merta memblokir semua rekening dormant, melainkan hanya rekening yang terbukti memiliki pola transaksi mencurigakan.
Ketiga, peningkatan literasi keuangan masyarakat mutlak diperlukan. Pemerintah, lembaga keuangan, dan organisasi masyarakat sipil harus bekerja sama dalam memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga status rekening tetap aktif, memahami hak dan kewajiban sebagai nasabah, serta memahami risiko hukum dari penggunaan rekening secara tidak sah.
Perlu Reformasi dalam Implementasi Kebijakan
Keberhasilan kebijakan tidak hanya dilihat dari tujuannya, tetapi juga dari cara implementasinya. Pemblokiran rekening dormant adalah contoh kebijakan yang memerlukan sensitivitas sosial dan pemahaman kontekstual yang tinggi. Negara harus hadir tidak hanya sebagai pengatur dan pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator yang memastikan masyarakat tidak menjadi korban dari sistem yang terlalu birokratis.
Bank-bank juga perlu melakukan perbaikan sistem notifikasi dan pelayanan nasabah. Mereka harus memastikan bahwa semua nasabah, termasuk di daerah tertinggal, memiliki akses untuk mendapatkan informasi dan bantuan terkait rekening mereka. Penguatan digitalisasi pelayanan perbankan, seperti aplikasi mobile banking yang mudah diakses, bisa menjadi salah satu solusi untuk menjangkau lebih banyak masyarakat.
Selain itu, mekanisme pengaduan dan pemulihan rekening harus dipermudah dan dipercepat. Prosedur yang berbelit-belit hanya akan memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan. Dengan menciptakan sistem yang ramah dan inklusif, maka kepercayaan masyarakat terhadap bank dan kebijakan negara dapat terjaga.
Penutup: Membangun Sistem Keuangan yang Adil dan Aman
Pada akhirnya, pemblokiran rekening dormant memang memiliki potensi sebagai alat efektif dalam mencegah kejahatan keuangan. Namun jika diterapkan secara kaku, tanpa memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, kebijakan ini justru bisa menjadi ancaman baru terhadap kepercayaan publik dan inklusi keuangan.
Negara dan lembaga keuangan harus duduk bersama untuk merumuskan pendekatan yang lebih bijak, humanis, dan inklusif. Kebijakan anti pencucian uang tidak boleh mengorbankan hak-hak masyarakat, terutama mereka yang rentan dan belum sepenuhnya paham sistem keuangan formal.
Masyarakat berhak atas perlindungan hukum, informasi yang jujur, serta akses terhadap mekanisme keuangan yang adil dan transparan. Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebijakan keuangan tidak boleh hanya menjadi alat pengawasan, tetapi juga sarana pemberdayaan.