
Spiritnesia.com, Kupang – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur menyoroti lemahnya penegakan etik di tubuh Kepolisian Daerah NTT. Setelah muncul dua kasus pelanggaran berat yang melibatkan anggota Polri, Yakni oknum Kapolsek Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang diduga ingkar janji nikah dan memaksa pacarnya menggugurkan kandungan. Dan kasus mantan Kapolres Ngada yang didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak.
Ketua LPA NTT, Veronika Ata, SH, M.Hum, menyebut tindakan Kapolsek tersebut tidak hanya melanggar etika jabatan, tetapi juga menyalahi prinsip perlindungan terhadap perempuan.
“Sebagai pimpinan di tingkat Polsek, ia seharusnya menjadi pelindung dan teladan. Sebaliknya, ia justru menjadi pelaku yang merugikan korban,” kata Veronika pada, Jumat (18/10/2025).
Veronika juga menyayangkan bahwa oknum Kapolsek itu tidak mendapat sanksi etik, tetapi justru dipromosikan menjadi Kasat Tahti di lingkungan kepolisian. “Ini bentuk penyimpangan serius dalam sistem pembinaan karier di tubuh Polri. Anggota yang bermasalah malah diberi jabatan strategis,” ujarnya.
LPA NTT mendesak Propam Polda NTT segera membuka pemeriksaan etik secara transparan terhadap Kapolsek Kuanfatu. Kasus itu, yang dilaporkan sejak 2023, dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan relasi jabatan.
“Publik berhak tahu penanganan kasus ini. Jangan ada pembiaran karena ini menyangkut integritas institusi,” tambahnya.
LPA NTT juga mendesak agar eks Kapolres Ngada yang kini tengah diadili atas dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak dijatuhi hukuman maksimal. “Ini soal tanggung jawab moral dan hukum. Polisi harus menjadi pelindung, bukan predator,” kata Veronika.
Veronika menyerukan agar kepolisian menghentikan praktik promosi jabatan terhadap anggota yang sedang atau pernah terlibat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Memberi jabatan kepada pelaku pelanggaran etik sama saja dengan menormalkan kekerasan,” ujarnya.
Ia menilai, lemahnya sanksi dan cepatnya promosi bagi pelanggar etik telah menciptakan kultur impunitas di lingkungan kepolisian.
“Ketika kasus tak lagi jadi sorotan publik, pelaku justru diberi posisi baru. Ini merusak sistem dan moral institusi,” katanya.
LPA NTT menegaskan, Polri harus memperbaiki sistem pembinaan dan pengawasan agar benar-benar berpihak pada korban.
“Hukum harus ditegakkan tanpa diskriminasi. Ini demi keadilan bagi korban dan pemulihan kepercayaan publik,” tegasnya.